Penyintas Kanker Dedikasikan Hidupnya untuk Anak Putus Sekolah di Jakarta

16 November 2020, 16:34 WIB
Ilustrasi tempat belajar anak./Pexels/Naomi Shi /

PR CIREBON - Saat itu adalah pagi di hari kerja di Kojem, lingkungan miskin di bagian utara Jakarta, dan anak-anak berusia tujuh tahun pulang dari seharian memancing di Laut Jawa yang ganas alih-alih pergi ke sekolah.

Pendidikan tampaknya menjadi renungan di tempat di mana kejahatan, narkoba dan prostitusi merajalela.

Sebagian besar anak-anak di sini putus sekolah sebelum mereka naik ke kelas empat. Ada anak yang putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolah. Ada juga yang ayah atau ibunya dipenjara karena kasus narkoba dan kejahatan dengan kekerasan.

Baca Juga: Dinilai Akan Rugikan Pariwisata Bali, Hotman Paris Ajak Pemuda di Bali Bersuara Tolak RUU Minol

Kemudian ada anak yang putus sekolah karena mengalami ketidakmampuan belajar yang tidak terdiagnosis. Beberapa anak bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah formal sepanjang hidup mereka.

“Sembilan puluh persen dari semua anak di sini putus sekolah. Anda bisa menghitung dengan satu tangan jumlah orang yang memiliki ijazah SMA,” kata Desi Purwatuning, yang telah menjalankan Rumah Belajar Merah Putih (Rumah Belajar Merah Putih) dari sebuah kontrakan kecil di Kojem selama 14 tahun terakhir, kepada CNA.

Sekolah tersebut telah membantu anak-anak putus sekolah dari Kojem dan sekitarnya, untuk mengikuti tes kesetaraan SD, SMP, dan SMA agar mereka dapat menemukan pekerjaan yang lebih baik dan keluar dari lingkaran setan kemiskinan.

Baca Juga: Pria Lain di Balik Terciptanya Totoro dan Studio Ghibli serta Keajaiban yang Diciptakan

“Tidak ada yang mengharapkan mereka menjadi nelayan dan pekerja keras. Bahkan orang tua mereka pun tidak. Itulah mengapa orang tua mereka tidak repot-repot menahan mereka di sekolah setelah mereka belajar membaca dan mengerjakan matematika sederhana. Mereka lebih suka anak-anak mereka membantu mereka di laut atau bekerja serabutan," katanya.

“Anak-anak di sini mengira mereka ditakdirkan untuk bekerja di perahu nelayan kecil. Mereka bahkan tidak berpikir bahwa bekerja di kapal kontainer baja yang mereka lihat setiap hari adalah impian yang bisa diraih. Saya ingin membuka mata mereka dan membuat mereka menyadari bahwa mereka bisa menjadi apapun yang mereka inginkan selama mereka mau," ujarnya lagi.

Sedikitnya 100 anak bersekolah di Rumah Belajar Merah Putih, belajar secara bergilir selama dua jam sehari di toko bobrok yang ukurannya tidak lebih dari 4 m kali 5 m.

Baca Juga: MPR Sebut Ada Inkonsistensi Aturan Dalam Pengendalian Covid-19

Ruang kelas darurat sangat kecil sehingga tidak ada kursi di dalamnya. Sebaliknya, guru dan murid duduk di atas tikar karet yang bisa dilepas yang mulai menunjukkan tanda-tanda keausan.

Murid-murid diajar apa saja mulai dari matematika dan sains hingga studi sosial dan Islam, oleh sekelompok sukarelawan mahasiswa.

“Penting untuk mengajari mereka agama. Karena ada banyak kejahatan, penyalahgunaan narkoba dan prostitusi di sekitar mereka, mereka perlu tahu benar dan salah," katanya.

Baca Juga: Tanggapi Isu Reuni 212 yang akan Digelar di Monas, Ponpes Buntet Cirebon: Sebaiknya Ditunda Dulu

Rumah Belajar Merah Putih menjadi cukup ramai, terutama karena beberapa anak merasa lebih betah berada di sini daripada berkeliaran di lingkungan yang kasar, yang terletak di muara sungai yang berbau ikan busuk, limbah industri, dan tumpahan minyak, dari deretan perahu nelayan kayu berwarna-warni yang berlabuh di kedua sisinya.

Beberapa anak bahkan menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah daripada di rumah sendiri.

“Salah satu siswa kami diperkosa tahun lalu. Kami juga memiliki seorang mantan siswa yang mengalami pelecehan seksual oleh seseorang yang dekat dengannya. Kami juga punya anak yang dipaksa menjadi pelacur. Bagi banyak anak di sini, ini adalah tempat berlindung mereka yang aman,” katanya.

Baca Juga: Puting Beliung Terjang Kota Mataram, 25 Rumah Warga Alami Kerusakan

Purwatuning, seorang janda berusia 42 tahun yang gemar memakai busana islami yang, tidak pernah membayangkan hidup sebagai pengajar pendidikan gratis bagi orang miskin.

Dia dulunya adalah salah satu dari sedikit pelaut perempuan yang bekerja di dunia laki-laki, menjadi anggota awak kapal dan feri yang berlayar melintasi Indonesia dan negara-negara tetangga.

“Tahun 2005, saya didiagnosis kanker. Para dokter memberi saya waktu berbulan-bulan untuk hidup dan saya merasa seperti saya belum melakukan apa pun untuk komunitas saya,” katanya, menambahkan bahwa setelah banyak operasi dan sesi kemoterapi, kankernya belum sepenuhnya hilang.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Ridwan Kamil Pinjam Rp1,750 Miliar Ke Bank Dunia dan Distributor Motor?

Purwatuning kemudian mendirikan perpustakaan dan play house di bagian yang tidak terpakai di rumahnya, kurang dari 1 km dari Kojem. Dia juga akan menjadi pembawa acara pemutaran film untuk anak-anak di area tersebut di perpustakaan umum sementara.

“Saya memperhatikan bahwa beberapa anak memegang buku secara terbalik. Saya bertanya dari mana mereka berasal dan kenapa mereka tidak tahu cara membaca," ucapnya.

Hampir dalam semalam, dia memindahkan seluruh operasinya ke Kojem dan mendedikasikan waktunya untuk mengajar anak-anak di sana cara membaca, menulis, dan mengerjakan matematika sederhana.

Baca Juga: Seorang Anak Laki-laki Berusia 6 Tahun di India Raih Sertifikasi Programmer Termuda di Dunia

“Saya melakukan semuanya sendiri. Hal berikutnya yang Anda tahu, saya memiliki 100 murid. Ini luar biasa dan saya mulai mencari relawan," ujar Purwatuning.

Saat ini, stafnya terdiri dari lima mahasiswa dan seorang mantan mahasiswa Rumah Belajar Merah Putih yang membantu di waktu luangnya.

Purwatuning juga secara aktif mencari sumbangan untuk membiayai biaya tes kesetaraan murid-muridnya, yang berkisar antara Rp600.000 hingga Rp900.000 per siswa.

Baca Juga: Desak RUU Minol Masuk Polegnas Prioritas, MUI Jelaskan Minuman Beralkohol Induk Segala Kejahatan

Kelas pagi didedikasikan untuk anak-anak kecil yang tidak mampu pergi ke taman kanak-kanak, sebuah kemewahan bagi banyak keluarga berpenghasilan rendah di Indonesia karena tidak ada prasekolah yang dikelola pemerintah di mana siswa dapat mendaftar secara gratis.

“Sekolah dasar cenderung lebih menyukai anak-anak yang bersekolah di taman kanak-kanak karena sudah tahu cara membaca dan menulis. Yang tidak kalah bersaing dengan anak-anak istimewa ini," kata Purwatuning.

Sementara itu, mereka yang putus sekolah biasanya belajar setelah jam 10 pagi sekembalinya mereka dari pagi hari di laut.

Baca Juga: Peneliti: Kecaman Jokowi untuk Macron Sekedar Kepentingan Praktis, Tekan Prancis dan Raih Citra Diri

Yogi Pratama Putra mengatakan belajar di Rumah Belajar Merah Putih memberinya fleksibilitas yang dia butuhkan.

“Di pagi hari, saya bisa membantu ayah saya memancing. Sore hari, saya bisa membantu ibu saya membersihkan kerang," katanya, Dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Channel News Asia.

Anak berusia 14 tahun itu mengatakan bahwa dia berhenti sekolah di kelas empat untuk membantu orang tuanya.

Baca Juga: Viral Komodo Hadangi Truk Proyek, Taman Nasional Komodo: Tidak Ada Proyek Pembangunan Jurassic Park

“Saya dulu benci sekolah. Saya lebih suka bekerja dan menghasilkan uang. Tapi saya tidak merasa seperti itu tentang Rumah Belajar Merah Putih," katanya, menambahkan bahwa tidak seperti sekolah formal, dia bisa belajar dengan kecepatannya sendiri dan masih punya waktu untuk membantu keluarganya.

Putra memperoleh ijazah sekolah dasar baru-baru ini, dan sekarang belajar untuk ujian kesetaraan sekolah menengah pertama.

Siswa lainnya, Tegar Mahendra, mengatakan dia berhenti sekolah di kelas dua segera setelah ibunya meninggal.

Baca Juga: Bak Film Layar Lebar, 100 Peti Mati Berisi Mumi Berusia Ribuan Tahun Ditemukan di Mesir

Ibu Mahendra bekerja sebagai penjual makanan untuk menambah penghasilan keluarga dan setelah kematiannya, ayahnya sopir minivan publik yang berjuang keras untuk membayar uang sekolahnya.

Remaja berusia 17 tahun ini mengatakan bahwa dia telah bekerja serabutan sejak dia berusia 10 tahun. Dia bergabung dengan Rumah Belajar Merah Putih lima tahun lalu dan sekarang sedang belajar untuk ujian kesetaraan sekolah menengah pertama.

“Saya bersyukur atas pendidikan yang saya miliki. Tanpa itu, saya mungkin akan menggunakan narkoba atau hal-hal buruk lainnya, karena itulah yang saya lihat di sekitar saya di lingkungan ini,” katanya kepada CNA.

Baca Juga: Pemerintah Sesalkan Pelanggaran Protokol Kesehatan, Satgas Covid-19 Desak Anies Baswedan Lebih Tegas

“Saya ingin menjadi pengusaha suatu hari nanti. Dengan begitu saya bisa menciptakan pekerjaan untuk orang lain," ujar Tegar.***

Editor: Irma Nurfajri Aunulloh

Sumber: Channel New Asia

Tags

Terkini

Terpopuler