Mahalnya Harga Obat Covid-19 Menuai Polemik, Solusi atau Cari Untung?

- 8 Oktober 2020, 13:11 WIB
Ilustrasi Obat Covid-19.*
Ilustrasi Obat Covid-19.* /Dokumen: Pribadi/unair.ac.id/

PR CIREBON – Digadang-gadang sebagai solusi untuk mengakhiri pandemi Covid-19, Pemerintah akhirnya memutuskan siap mendistribusikan remdesivir untuk menangani pasien Covid-19 di Indonesia.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun telah memberikan izin kepada PT Kalbe Farma Tbk yang bakal menjual dengan merek Covifor. Namun dengan harga jual yang mahal, obat Covid-19 ini menjadi kontroversi di tengah masyarakat.

Izin distribusi yang dimiliki BPOM atas Covifor (Remdesivir) Injection berupa otorisasi penggunaan darurat alias emergency use authorization . Hal ini berarti obat antivirus ini hanya akan didistribusikan kepada rumah sakit saja, tidak ke instansi lain, termasuk tidak dijual di apotek untuk pasar ritel.

Baca Juga: Omibus Law Bermanfat Atasi Investor, CSIS: UU ini Bukan tentang Investasi, Tetapi UU Cipta Kerja

Obat Anti-Virus yang Menuai Banyak Pertanyaan

Obat antivirus remdesivir akan dipakai untuk pasien Covid-19. Walaupun, keampuhan remdesivir dalam mengobati pasien virus Covid-19 masih memantik banyak tanya.

Alasannya, menurut Dokter Sugeng Ibrahim M.Biomed, Remdesivir merupakan obat antivirus untuk mencegah keparahan, bukan membunuh atau memecah envelope virus corona, bukan pula obat untuk mengobati cytokine storm atau badai radang yang merusak paru.

Remdesivir juga sudah tersedia sejak lama, antivirus ini sudah digunakan untuk mengatasi pandemi ebola beberapa tahun lalu.

Baca Juga: Penasaran Berapa Jumlah Akun yang Mengunjungi Profil Instagram? Simak Cara untuk Mengetahuinya

Sugeng mengungkapkan, remdesivir yang tengah dibicarakan banyak orang saat ini sejatinya juga sudah habis masa patennya.

Dengan harga jual di kisaran Rp 3 juta per vial atau dosis, sejatinya “Obat anti virus ini hanya menghambat repliksi dari virus corona,” ujarnya menambahkan, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari PMJ.

Dengan harga obat Rp 3 juta dengan kebutuhan 2 kali sehari, maka seminggu biaya pasien corona dengan obat antivirus remsedivir jenis covifor akan menghabiskan dana Rp42 juta per minggu.

Baca Juga: Ramai Penolakan Omnibus Law, MK Pastikan Siap Menerima Permohonan Uji Materi UU Cipta Kerja

Kemenangan Kapitalisme

Kebijakan yang keliru yang dikeluarkan pemerintah dimana orang kaya selalu diuntungkan, juga dirasakan oleh dosen senior dari Universitas Stanford, Francis Fukuyama.

Fukuyama diakui pemikirannya setelah menulis buku The End of History and the Last Man pada tahun 1992. Di sana ditegaskan bahwa sejarah perkembangan ideologi-politik umat manusia akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal.

Fukuyama melihat terdapat konsensus luar biasa berkenaan dengan legitimasi demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah muncul di seluruh dunia, setelah sistem ini mengalahkan ideologi-ideologi pesaingnya, seperti monarki, fasisme, dan komunisme.

Baca Juga: Khusus Puan Maharani, Sindiran Cerdas Najwa Shihab: Saya Tak Matikan Mic, Kalian Berhak Bicara

Namun demikian, sejak memasuki abad 21, Fukuyama mulai mempertanyakan tesisnya atas demokrasi liberal.

Dalam tulisannya di America in Decay: The Sources of Political Dysfunction (2014), misalnya, Fukuyama memperkenalkan istilah vetocracy (vetokrasi), yakni terjadinya disfungsi tata kelola pemerintahan di Amerika Serikat (AS) yang membuat lembaga politik yang ada tidak dapat membuat kebijakan secara efektif dan didominasi oleh keinginan kelompok-kelompok kaya.

Meskipun dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018), Fukuyama kembali menyinggung sulitnya mewujudkan negara demokrasi liberal modern seperti yang dibayangkannya, sama seperti kontroversi mahalnya obat Covid-19, Fukuyama tetap memiliki harapan bahwa di akhir sejarah, demokrasi liberal tetap menjadi pemenang.

Baca Juga: Datangi Mapolres Semarang, Ganjar Pranowo Dengarkan Aspirasi Pendemo UU Cipta Kerja

Mendapatkan Keuntungan

Kritik terhadap mahalnya obat Covid-19 dapat kita pahami lebih dalam melalui konsep skin in the game yang diperkenalkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Skin in the Game: Hidden Asymmetries in Daily Life.

Menurut Taleb, skin in the game yaitu pilar utama yang menopang berfungsinya sistem, baik di sistem manusia maupun di alam, agar suatu sistem tetap berjalan dengan baik.

Skin in the game yakni hubungan simetris yang mengatur keseimbangan antara insentif dan disinsentif. Hal ini merupakan mekanisme atau sistem kolektif yang mengatur hal positif akan mendapatkan isentif (keuntungan), dan hal negatif akan mendapatkan disinsentif (kerugian).

Baca Juga: Pilkada Tetap Dilaksanakan Meski Pandemi, Pengamat: Saling Melengkapi Memanfaatkan Segala Teknologi

Penggunaan kata skin merujuk pada setiap aktor yang terlibat dalam suatu sistem yang disebut sebagai game. Pada prinsipnya, game yang baik akan terjadi apabila setiap aktor (skin) yang terlibat memiliki kesempatan yang sama untuk menerima risiko dari game yang terjadi.

Misalnya, jika Naruto melakukan investasi, maka Naruto dapat menerima dampak investasi, baik mendapatkan keuntungan ataupun mendapatkan kerugian.

Meski begitu, menurut Taleb sering kali skin in the game tidak terjadi karena terdapat aktor-aktor yang justru tidak mendapatkan risiko dari game yang dimainkan.

Baca Juga: Cegah Penyebaran Covid-19 saat Pemilu, KPU Diminta Koordinasi dengan TNI dan Polri

Taleb misalnya mencontohkan seorang pengajar teori evolusi yang mendidik muridnya agar memahami dan percaya pada teori tersebut. Akan tetapi, sang pengajar justru tidak percaya pada teori evolusi yang diajarkannya.

Skin in the game seharusnya menjadi prinsip yang harus ditekankan, khususnya pada pembuatan kebijakan publik agar sang pembuat kebijakan tidak membuat kebijakan yang keliru.

Alasannya, dalam kenyataannya, karena pembuat kebijakan merasa tidak dirugikan oleh kebijakan yang dibuatnya, kebijakan yang merugikan masyarakat kemudian terlahirkan.

Baca Juga: Timnas U-19 Siap Lawan FK Dugopolje di Liga Kroasia, Shin: Kami Melakukan Persiapan Seperti Biasa

Pada konteks pandemi Covid-19, seperti hadirnya kontroversi mahalnya obat Covid-19, para pemangku kebijakan publik yang tidak mengetahui realita di lapangan sering kali membuat kebijakan yang tidak tepat karena apa pun yang terjadi status quo mereka terlindungi.

Belum Ada Obat yang Terbukti Efektif

Keampuhan remdesivir dalam mengobati pasien virus corona juga masih dipertanyakan. Guru Besar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan remdesivir belum terbukti sebagai antivirus dan perlu pengujian untuk dianggap sebagai obat penderita Covid-19.

Ari menegaskan, saat ini belum ada obat yang terbukti dapat mengobati pasien Covid-19. Para peneliti di dunia masih berjibaku meneliti pengobatan yang tepat untuk Covid-19.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Tuai Polemik Tak Adil, DPR Imbau Masyarakat agar Tidak Terprovokasi Hoaks

“Semuanya dalam tahap riset baik obat tunggal dan kombinasi, kita semua masih menunggu,” ungkapnya, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari PMJ.

Remdesivir ini sudah terlebih dulu digunakan untuk pengobatan pasien Covid-19 di Amerika Serikat. Food and Drug Administration US (FDA atau BPOM) telah mengizinkan penggunaan remdesivir pada pasien dengan gejala sedang dan berat mulai Mei lalu.

Penggunaan remdesivir setelah data menunjukan bahwa penggunaan antivirus ini dapat mempersingkat waktu pemulihan pasien menjadi rata-rata 11 hari. Pada Agustus lalu, FDA pun menerbitkan izin penggunaan remdesivir untuk pasien rawat inap yang tidak membutuhkan bantuan oksigen.

Baca Juga: Omnibus Law Terus Menuai Protes, Luhut: Saya Jamin Pemerintah Tidak Bertujuan Sengsarakan Rakyatnya

RS AS Menolak

Mahalnya obat Covid-19 menjadikan beberapa rumah sakit di AS menolak sepertiga pasokan yang dialokasikan untuk belanja obat remdesivir. Alasannya, obat ini dianggap terlalu mahal untuk digunakan pada pasien tahap sedang.

“Saya tidak terlalu terkesan dengan penelitian ini dan skeptis pada penggunaan remdesivir untuk pasien Covid-19 di tahap sedang, terutama mengingat harganya,” keluh Adarsh Bhimraj selaku spesialis penyakit menular di Cleveland, dilansir dari Reuters, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari PMJ.

Berdasarkan keterangan pada situs Departemen Kesehatan AS (NIH), remdesivir berperan untuk menghambat replikasi virus. Departemen Kesehatan AS merekomendasikan penggunaan remdesivir untuk pasien Covid-19 tahap berat selama lima hari atau sampai pasien ke luar dari rumah sakit.

Baca Juga: Ramai Penolakan Omnibus Law, Presiden Jokowi Teken Perpres Pengadaan dan Pelaksanaan Vaksin Covid-19

Apabila tidak terdapat perbaikan klinis dalam jangka waktu tersebut, maka beberapa ahli menyarankan untuk memperpanjang durasi penggunaan obat hingga 10 hari.

Pemberian remdesivir di Indonesia masih akan diujicobakan kepada 25 pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta. Pasien akan diberi antivirus melalui infus sebanyak 200 mg pada hari pertama.

“Hari berikutnya, bisa 5 sampai 10 hari ke depan (diberi remdesivir) sebanyak 100 mg saja,” tutur Erlina Burhan, konsultan dokter Gugus Tugas Covid-19 yang merupakan dokter spesial paru-paru.

Baca Juga: KABAR BAIK! Angka Kesembuhan Covid-19 di Kota Malang Melesat Naik

Adapun, 25 pasien yang akan diujicobakan ini harus berusia di atas 18 tahun dan menderita Covid-29 dengan kategori berat yang artinya saturasi oksigennya di bawah 94%. Kemudian, kriteria lainnya adalah pasien yang sedang menjalani ventilator mekanik.

Ia menjelaskan, remdesivir adalah antivirus dengan cara kerja menghambat replikasi virus. “Mudah-mudahan kalau masuk remdesivir, replikasi virus dihambat sehingga tidak terjadi keparahan yang lebih lagi. Kemudian sistem imun akan bisa mengendalikan,” ujar Erlina.

Cara mencegah penularan Covid-19 paling ampuh sampai saat ini adalah dengan menjaga jarak, memakai masker, dan rutin mencuci tangan. Ketiganya penting untuk dilaksanakan sambil menunggu vaksin.

Baca Juga: Berkat UU Cipta Kerja, Menkeu Sri Mulyani Yakin Indonesia Bisa Tarik Investasi hingga 3 Kali Lipat

Tanggapan Bos Kalbe Farma

Harga obat Covid-19 yang dikeluarkan Kalbe Farma menuai beragam komentar. Pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beranggapan harga obat yang dipatok sebesar Rp3 juta per dosis itu tergolong mahal. Presiden Direktur (Presdir) Kalbe Farma, Vidjongtius menanggapi kritikan tersebut.

Vidjongtius mengungkapkan penetapan harga obat Covifor turut mempertimbangkan volume impor. Yang mana produksi obat anti Corona tersebut masih diproduksi oleh perusahaan farmasi multinasional asal India, yakni Hetero.

“Produk Covifor saat ini masih diimpor oleh PT Amarox dan faktor harga selalu berbanding lurus dengan jumlah unit atau volume yang ada,” ujarnya, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari PMJ.

Baca Juga: Halal Watch Khawatir Soal UU Ciptaker, IHW: Hal ini Melemahkan MUI dan Kementerian Agama

Menurut Vidjongtius, saat ini volume impor Covifor pada tahap awal masih tergolong rendah. Jadi dampaknya, harga jual obat Covid-19 itu menjadi mahal per dosisnya.

“Jumlah unit atau volume yang ada saat ini di tahap awal volume masih kecil. Sehingga ada penyesuaian (harga),” tuturnya.

Akan tetapi, Vidjongtius menyakinkan bahwa ke depannya harga Covifor bisa semakin terjangkau oleh masyarakat.

“Setelah skala volume bertambah maka harga tersebut akan bisa lebih rendah,” tandas Bos Kalbe tersebut.***

Editor: Nur Annisa

Sumber: PMJ News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x