Polemik POP Dianggap Tidak Bijak, Din Syamsudin Salahkan Jokowi yang Angkat Nadiem Jadi Menteri

29 Juli 2020, 15:40 WIB
Din Syamsudin. (Antara) /

PR CIREBON - Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menuai banyak polemik dan menjadi perbincangan hangat publik.

Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin juga turut menyoroti permasalahan POP milik Kemendikbud tersebut.

Din mengungkapkan, kebijakan dari Mendikbud Nadiem Makarim tersebut dinilai sebagai kebijakan yang tidak bijak dan tidak populis atau merakyat.

Baca Juga: Miliki Kritik Terselubung Terhadap AS, Tiongkok dan Rusia Bekerjasama Deklarasikan Perang Informasi

"Mundurnya Muhammadiyah, NU, dan kemudian PGRI dari program tersebut menunjukkan adanya masalah besar dan mendasar. Jelas hal ini menunjukkan bahwa Mendikbud tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang sejarah pendidikan nasional Indonesia dan peran organisasi-organisasi kemasyarakatan khususnya keagamaan dalam gerakan pendidikan nasional." kata Din dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 29 Juli 2020 dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari RRI.

Muhammadiyah dan NU adalah pelopor pendidikan di Indonesia, di mana Din menyebut kedua organisasi tersebut bersama organisasi pendidikan lainnya adalah stake holders sejati pendidikan nasional.

Sementara Sampoerna dan Tanoto yang menjadi salah satu permasalahan dalam program ini merupakan pendatang baru dalam dunia pendidikan.

Baca Juga: Beredar Video Pembakaran Poster Habib Rizieq, Tengku Zulkarnain: Serupa PKI Bunuh Jenderal

"Yayasan atau foundation seperti Sampoerna atau Tanoto hanyalah pendatang baru, yang setelah menikmati kekayaan Indonesia baru berbuat atau memberi sedikit untuk bangsa (dibandingkan dengan keuntungan yang mereka raup) dari Tanah dan Air Indonesia. Jadi kalau mereka yang dimenangkan/dilibatkan dalam POP sungguh merupakan ironi sekaligus tragedi." lanjutnya.

Kendati demikian, Din menyebut kesalahan polemik program ini bukan pada Nadiem Makarim sebagai Mendikbud.

Ia berpendapat bahwa Nadiem hanya seorang anak muda yang lebih banyak berada di luar negeri, sehingga tidak memiliki pengetahuan dan penghayatan tentang permasalahan pendidikan dalam negeri.

Baca Juga: Singgung Dinasti Politik Buruk untuk Demokrasi Indonesia, Mardani Ali Sera Puji Karier Puan Maharani

"Yang sangat bersalah dan patut dipersalahkan, serta harus bertanggung jawab, pada pendapat saya, adalah Presiden Jokowi sendiri. Dialah yg berkeputusan mengangkat seorang menteri, walaupun menyempal dari fatsun politik yang berlangsung dari waktu ke waktu.

"Atau, jangan-jangan Presiden Jokowi sendiri tidak cukup memahami sejarah kebangsaan Indonesia dan berani mengambil keputusan yang meninggalkan kelaziman politik. Paling tidak, terkesan Sang Presiden mengabaikan dua organisasi besar yg berjasa menegakkan kemerdekaan Indonesia" pungkasnya.

Karena program ini sudah terlanjur menjadi polemik, Din mengusulkan agar POP milik Kemendikbud ini segera dihentikan.

Baca Juga: Undang Nadiem Soal POP Kemendikbud, KPK: Mas Menteri Ajak Irjen dan Dirjen, Nanti Ditelaah

"Sebaiknya program itu dihentikan. Lebih baik Kemendikbud bekerja keras dan cerdas mengatasi masalah pendidikan generasi bangsa yg akibat pandemi Covid-19 telah, menurut seorang pakar pendidikan, menimbulkan the potential loss bahkan generation loss (hilangnya potensi dan hilangnya generasi)," kata Din.

Din juga menganggap pemerintah tidak hadir untuk melindungi rakyat. Pemerintah tidak tergerak membangun infrastruktur telekomunikasi dan teknologi pendidikan.

Tak hanya itu, pemerintah juga dinilai tidak pernah berpikir membantu meringankan anak-anak yang masih kesulitan mengakses internet, atau kesulitan membebaskan kuota internet.

Baca Juga: Tiongkok Dituding Ikut Campur Pemilu Amerika Serikat, TikTok Jadi Korban Bulan-bulanan Politisi AS

Ia mengungkapkan bahwa Kemendikbud memaksakan untuk belajar daring atau jarak jauh namun tidak menyiapkan infrastruktur untuk hal tersebut.

Anggaran yang diklaim untuk penanggulangan Covid-19 tidak dialokasikan untuk membantu anak-anak rakyat yang terpaksa belajar dari rumah dalam keterbatasan dan kekurangan"

"Tapi sudah terlambat. Ketakhadiran dan ketakefektifan para pembantu Presiden bekerja serius dengan sense of crisis dalam situasi kritis bukan masalah pembantu, tapi masalah yang mengangkatnya," pungkasnya.***

 
Editor: Nur Annisa

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler