Refly Harun: Pemerintah Kini Cenderung Diktatorship, Jika Din Syamsuddin Ditangkap, Benar Adanya

- 24 Oktober 2020, 10:27 WIB
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun: Din Syamsuddin ditangkap karena miliki pendapat yang berbeda terkait pemerintahan Jokowi saat sekarang ini, Refly Harun beri tanggapan.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun: Din Syamsuddin ditangkap karena miliki pendapat yang berbeda terkait pemerintahan Jokowi saat sekarang ini, Refly Harun beri tanggapan. /-Foto: Tangkapan layar channel YouTube Refly Harun

 

PR CIREBON - Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) Din Syamsudin menyatakan, saat ini ada gejala Indonesia menjadi negara diktator konstitusional. Indikasi negara diktator konstitusional adalah sikap kukuh pemerintah terhadap masukan masyarakat atas kebijakannya.

Hal itu tercermin dalam penolakan revisi UU KPK, desakan penundaan Pilkada serentak, Revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba) dan teranyar UU Omnibus Law. Desakan dan pendapat masyarakat dalam berbagai kebijakan itu, kata dia, tidak satupun didengarkan pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang ditolak masyarakat tetap saja dilanjutkan.

"Kalau ini terus terjadi, tidak ada titik temu, pemerintah merasa berkuasa, ada gejala negara ini menjadi negara konstitusional dictator," kata Din saat memberi kata penutup dalam webinar bertajuk Dampak Omnibus Law Terhadap Otonomi Daerah Dan Berbagai Aspek Lainnya, Kamis 22 Oktober 2020.

Baca Juga: Lebih Awal Digunakan di Amerika, FDA Setuju Antivirus Remdesivir Jadi Obat Pasien Covid-19

Celakanya, pemerintah merasa diri sudah baik dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Padahal, kata dia, dalam banyak hal, pemerintah berjalan dengan keputusan sendiri dan tidak lagi mendengarkan aspirasi masyarakat.

"Ini berbahaya," katanya.

Dia mengungkapkan, dalam kasus UU Omnibus Law, hampir seluruh elemen negara telah bersuara keras meminta pemerintah membatalkan pembahasan di DPR. Suara yang sama disampaikan agar UU itu dibatalkan setelah di sahkan. Tetapi, pemerintah nampak tidak mau mendengarkan aspirasi itu.

Baca Juga: Daftar Harga Emas Hari Ini, Sabtu 24 Oktober 2020: dari Antam, Retro, Batik hingga USB di Pegadaian

"Moral politik pemimpin yang baik adalah yang mendengarkan aspirasi rakyat. Dalam demokrasi rakyat yang berdaulat," katanya.

Dia menambahkan, banyak akademisi yang juga telah memberi kesan terhadap UU Omnibus Law. Misalnya Fakultas Hukum UI yang menyebut penyusunan UU itu jorok. Kesan-kesan itu, kata dia, diberikan tentu setelah melalui pembacaan atas UU yang diparipurnakan pada 5 Oktober lalu.

Menurut Refly Harun dari pernyataan Din Syamsuddin pernyataan yang ngeri-ngeri sedap bahwa Bangsa Indonesia akan menjadi Pemerintahan yang diktator.

Baca Juga: Omnibus Law Berubah Pasal Lagi, Rocky Gerung: Nanti UU Dicetak di Atas Kertas Toilet

"karena berapa kali saya mendengarkan Din Syamsuddin mengatakan bahwa Indonesia menuju konstitusional diktatorship yaitu diktator tapi konvensional." ucap Refly Harun. dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari video yang diunggah pada akun YouTube Refly Harun.

"Diktator konvensional atau diktatorship, ini terjadi ketika orang menilai masa pemerintahan bung Karno pada era orde lama dari tahun 1966 dan dengan pemerintah orde baru dari tahun 66 sampai kemudian 98 perbedaannya adalah dari sumber legitimasi." ujar Refly.

Keduanya pemerintahan yang otoriter, itu sudah menjadi pendapat umum para ilmuwan baik politik maupun hukum tata negara. Bahwa baik orde lama maupun orde baru itu adalah otoriter.

Baca Juga: Setahun Jokowi-Ma'ruf dari Pandemi hingga Demonstrasi, Mahfud MD Sentil Gatot, Amien Rais dan SBY

"Tetapi yang membedakan adalah Bung Karno tidak memerlukan legitimasi konstitusi untuk bertindak, dia melampaui mengatasi konstitusi itu sendiri sebagai contoh misalnya ketika dia menjadikan pidatonya sebagai GBHN Garis-garis Besar Haluan Negara." ucap Refly Harun.

"Pidatonya yang bertajuk manipol (manifesto politik) usdek, undang-undang dasar sosialisme dan demokrasi ekonomi itu menjadi garis-garis besar hal yang haluan negara atau Guideline." imbuhnya.

Konstitusi mengatakan yang berhak menetapkan itu adalah majelis permusyawaratan rakyat.

Baca Juga: A Minus untuk Kebohongan Jokowi, NasDem Sebut Ingin Tangkap Rocky Gerung Karena Caci Maki Jokowi

Namun pada masa pemerintahan pak Harto dia menjalankan formalisme konstitusi.

Walaupun semua orang tahu bahwa GBHN itu dibuat oleh pemerintah.

"Bahwa GBHN itu disiapkan pemerintah disorongkan ke MPR melalui terutama fraksi Golkar dan fraksi ABRI yang merupakan kaki dari pak Harto lalu secara aklamasi akan disetujui." ujar Refly Harun.

Baca Juga: Jokowi Percepat Pelaksanaan Industri Turunan dari Batu Bara untuk Pengembangan Lapangan kerja

"Jadi formalisme saja itu yang di sebut konstitusional diktatorship, jadi konstitusional diktatorship itu adalah prosedur-prosedur sumber konstitusi itu dipakai tapi hanya prosedurnya saja substansinya tidak." imbuhnya.

"Padahal kan kita bicara substansi seharusnya ruang perdebatan itu ada di wakil-wakil rakyat di MPR baik dari unsur DPD maupun unsur DPR." ujarnya.

Kalau dulu unsurnya bukan DPD tapi utusan golongan dan utusan daerah wataknya sama tapi prosedurnya berbeda.

Baca Juga: Polisi Temukan Uang RP100 Juta dalam Rekening Petugas Kebersihan Kejagung: Kita Periksa Mendalam

"Sekarang ketika masa pemerintahan presiden Jokowi dianggap ada kecenderungan pada diktator konstitusional atau konstitusional diktatorship." ucapnya.

"Saya tidak membantah ada kecenderungan itu yang paling nyata adalah penggunaan secara masif undang-undang ite undang-undang tentang internet dan transaksi elektronik yaitu undang-undang yang betul-betul sapujagat untuk membungkam sikap kritis siapa pun." imbuhnya.

Sering digunakan negara tapi sering digunakan kelompok-kelompok situs society yang tidak mau kritik.

Baca Juga: Polisi Temukan Uang RP100 Juta dalam Rekening Petugas Kebersihan Kejagung: Kita Periksa Mendalam

"Jadi baik unsur negara maupun unsur civil society menggunakan undang-undang ite itu untuk menghantam untuk memenjarakan siapapun yang tidak sepakat dengan pemerintahan misalnya atau siapapun yang dianggap melakukan penghinaan dianggap melakukan provokasi perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak menyenangkan dan lain sebagainya." ujar Refly Harun.

Jadi undang-undang itu sebenarnya banyak makan korban tapi sayangnya MK hingga saat ini tidak mau hapuskan atau membatalkan undang-undang itu.

"Tertawa keberadaan pasal 27 yang paling berbahaya subjektifnya tinggi sekali jadi liat ini di luar sudah." pungkas Refly.

Baca Juga: Tingkatkan Pertahanan Nasional, Prabowo Subianto dan Menhan Prancis Bahas Kerja Sama Maritim

"Mudah-mudahan kita tidak terus terjerumus ke dalam lubang dictatorship ini Dan satu hal kalau gara-gara mengatakan bahwa pemerintah sekarang ada kecenderungan konstitusional dictatorship atau diktator konstitusional lalu ada konsekuensi hukum kepada profesor Din Syamsuddin, misalnya katakan ditangkap juga ini justru membuktikan bahwa memang benar-benar ada diktatorship itu." ucap Refly.

"Kita tentunya tidak menginginkan negara kita menjadi negara yang otoritarian kembali pemimpin yang menjadi diktator kembali karena membangun demokrasi ini tidak mudah penuh dengan darah dan air mata dan juga korban nyawa dari syuhada syuhada reformasi tahun 98." imbuhnya.

Dan siapapun yang menikmati kepemimpinan hari ini yang duduk di kepemimpinan baik para pemimpin yang memimpin para pendukungnya harus mengingat ini baik-baik jangan sampai negara ini regresif kembali.

Baca Juga: Sepanjang Tahun 2020 16 Juta Rokok Ilegal Disita Petugas Bea Cukai, Nilai Barang Capai Rp16,3 Miliar

"Tidak enak mengalami era seperti era orde baru apalagi era orde lama." ucapnya.

"Padahal saya belum lahir tapi orde baru sangat merasakan bagaimana kebebasan sangat dibuka bagaimana kita tidak bisa bersuara bebas. Jadi kalau sekarang dikatakan kita tidak sama dengan masa pemerintahan Pak Harto, kita tidak pengen sama karena kalau kita menjadi sama maka Negara kita adalah Negara yang gelap Negara yang otoriter negara yang tidak lagi menghargai perbedaan pendapat." ujra Refly Harun.

"Tapi jangan lupa itu menjadi satu aspek kebebasan sipil, aspek politik, aspek kebebasan berpendapat menyatakan pikiran baik secara lisan maupun tulisan, tapi aspek lain juga harus diselesaikan misalnya ekonomi kebudayaan pendidikan dan lain sebagainya." ucapnya.

Baca Juga: Terjerat Kasus Penyuapan Anggaran Tahun 2018, Wali Kota Tasikmalaya Ditahan KPK

Menurut Refly kalau kita bandingkan antara satu dengan yang lainnya bisa jadi lebih baik dari satu segi pada era orde baru dibandingkan era reformasi saat ini lebih baik era kepemimpinan SBY dibanding era kepemimpinan Jokowi.

"Misalnya lebih baik era kepemimpinan pak Harto dibandingkan era kepemimpinan Jokowi atau SBY." imbuhnya.

"Tapi kita harus lihat aspeknya dulu, tapi kalau kita bicara aspek kebebasan sipil ya jangan kita tiru era orde lama dan orde baru tersebut. Yang membungkam sipil yang menjadikan negara kita menjadi diktator, mungkin satu diktator konstitusional karena pada zaman pemerintahan pak Harto selalu menyandarkan pada Pancasila dan undang-undang dasar 1945 untuk memulul siapapun yang berbeda pendapat." ujar Refly Harun.

Baca Juga: Waspadai Terjadinya Bencana yang Disebabkan oleh Fenomena La Nina, Pemkot Bandung Siap Siaga

"Saya tidak ingin masa itu terulang kembali pada era saat ini terutama era pemerintahan Jokowi dan jangan sampai presiden Jokowi justru meninggalkan warisan sebagai pemimpin yang menggerakkan kembali Ilham otoritarianisme di negara ini." imbuhnya.

"Memang jalan demokrasi itu jalan-jalan yang penuh penak dan duri, tetapi disitulah sesungguhnya kemerdekaan hendak kita ciptakan dan kita perjuangkan." pungkas Refly Harun.

Bahwa kemerdekaan itu harus membebaskan hati nurani kita termasuk hati nurani untuk diungkapkan kepada publik dan itu dijamin oleh konstitusi kita sebagai sebuah kebebasan yang hakiki.

Baca Juga: Agar Peternak Sapi di Jombang Produktif, ITS Kembangkan Yoghurt untuk Tingkatkan Nilai Jual

"Jangan sampai kita kemudian terlalu berlebihan, tidak baik juga terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu yang hanya merupakan wacana. Jangan melebih-lebihkan sesuatu wacana seolah-olah menjadi sebuah kerumitan keriuhan dan lain sebagainya. ucap Refly Harun.

Disclaimer: Demi mencegah salah persepsi atas judul, semula berita ini berjudul 'Din Syamsuddin Ditangkap Karena Berbeda Pendapat, Refly Harun: Memang Benar-benar Ada Diktatorship', tetapi kini diganti menjadi 'Refly Harun: Pemerintah Kini Cenderung Diktatorship, Jika Din Syamsuddin Ditangkap, Benar Adanya'

 ***

Editor: Irma Nurfajri Aunulloh

Sumber: YouTube Refly Harun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x