Harapkan Kebebasan dengan Menuntut Ilmu di Negeri Paman Sam, Pembelot Korea Utara: Amerika Tidak Bebas

15 Juni 2021, 19:45 WIB
Pembelot Korea Utara mengatakan bahwa setelah menuntut ilmu di Amerika, ia menyadari tetap tidak ada kebebasan di negara itu. /Instagram/@yeonmi_park

PR CIREBON – Seorang pembelot Korea Utara mengatakan dia memandang Amerika Serikat (AS) sebagai negara dengan kebebasan berpikir dan kebebasan berbicara.

Namun, pandangan itu berubah saat pembelot Korea Utara tersebut kuliah di salah satu universitas di AS.

Pembelot Korea Utara bernama Yeonmi Park itu kuliah di Universitas Columbia, dan langsung dikejutkan oleh apa yang dia sebut sebagai sentimen anti-Barat di kelas.

Baca Juga: Bocoran Game, Rumor, dan Prediksi Nintendo Direct E3 2021

Ia juga mengungkit orang-orang AS yang fokus pada ‘political correctness’ yang membuatnya berpikir bahwa, menurutnya, Korea Utara tidak segila itu.

“Saya berharap bahwa selama belajar di sini, saya bisa belajar bagaimana berpikir secara independen. Tapi mereka malah memaksamu untuk berpikir seperti yang mereka inginkan," kata Park, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari New York Post.

“Saya menyadari, wow, ini gila. Saya pikir Amerika berbeda tetapi saya melihat begitu banyak kesamaan dengan apa yang saya lihat di Korea Utara sehingga saya mulai khawatir,” tambahnya.

Baca Juga: Meski Sempat Membela Belanda, FIFA Memastikan Status Ezra Walian Bisa Memperkuat Timnas Indonesia

Wanita berusia 27 tahun itu mengatakan bahwa dia tidak percaya dia akan diminta untuk melakukan penyensoran diri yang banyak di sebuah universitas di Amerika Serikat.

“Saya benar-benar melintasi Gurun Gobi untuk bebas dan saya menyadari bahwa saya tidak bebas, Amerika tidak bebas,” katanya.

Yeonmi Park melarikan diri dari Korea Utara pada usia 13 tahun pada tahun 2007, sebuah perjalanan yang membawanya dan keluarganya ke Tiongkok dan Korea Selatan sebelum dia pergi ke sekolah di New York pada tahun 2016.

Baca Juga: Najwa Shihab Unggah Berita Vonis Jaksa Pinangki Dipangkas Jadi 4 Tahun Penjara, Netizen: Lagi Diskon

Profesornya memberi siswa peringatan, membagikan kata-kata dari bacaan sebelumnya sehingga orang dapat memilih untuk tidak membaca atau bahkan duduk di kelas selama diskusi.

"Pergi ke Columbia, hal pertama yang saya pelajari adalah 'ruang aman,'" katanya.

“Setiap masalah, mereka menjelaskan kepada kami, adalah karena pria kulit putih,” lanjutnya.

Baca Juga: Simak Penyebab hingga Cara Mengobati Sakit Maag yang Seringkali Diderita Banyak Orang

Ia menambahkan bahwa beberapa diskusi tentang hak istimewa orang kulit putih mengingatkannya pada sistem kasta di negara asalnya, di mana orang dikategorikan berdasarkan nenek moyang mereka.

Di satu kelas, seorang guru yang membahas Peradaban Barat bertanya kepada siswa apakah mereka memiliki masalah dengan nama topik tersebut. Sebagian besar siswa mengangkat tangan.

Beberapa, katanya, menyebutkan isu-isu dengan kemiringan kolonial dalam diskusi.

Baca Juga: TMMD ke-111 Kodim 0615 Kuningan Ringankan Derita Warga Jamberama, Tak Mau Lagi Jalan Kaki 5 Km

Dan kelas sering dimulai dengan profesor meminta siswa untuk kata ganti pilihan pribadi, dengan penggunaan ‘they’ menjadi menakutkan akibat takut dihukum secara sosial karena tidak cukup inklusif dalam kosakatanya.

“Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga saya. Sangat sulit bagi saya untuk mengatakan he dan she kadang-kadang, saya menyalahgunakannya,” ia mengungkapkan.

Dia menyebut bahwa dia juga dicaci karena mengatakan dirinya menikmati tulisan-tulisan karya Jane Austen.

Baca Juga: Pembunuhan di Masjid Christchurch Akan Difilmkan, Warga dan Pemimpin Selandia Baru Protes Karena Hal Ini

"Saya berkata 'Saya suka buku-buku itu.' Saya pikir itu hal yang baik. Tapi orang-orang berate padaku ‘Tahukah kamu bahwa para penulis itu memiliki pola pikir kolonial? Mereka rasis dan fanatik dan secara tidak sadar mencuci otakmu’,” jelasnya.

Park mengatakan siswa Korea Utara terus-menerus diberitahu tentang Amerika yang keji.

“Saya pikir orang Korea Utara adalah satu-satunya orang yang membenci orang Amerika, tetapi ternyata ada banyak orang Amerika yang membenci negaranya sendiri,” imbuhnya.***

Editor: Linda Agnesia

Sumber: New York Post

Tags

Terkini

Terpopuler