Pemerintah Tidak Takut Kehilangan Devisa, Kepentingan Masyarakat Harus di Utamakan

13 Mei 2022, 14:36 WIB
Pemerintah tidak mengkhawatirkan kehilangan devisa dari larangan ekspor minyak sawit. Kepentingan masyarakat harus terpenuhi dengan harga wajar./pikiran-rakyat.com /

SABACIREBON-Banyak pihak yang mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi yang melarang ekspor minyak goreng, bahan baku minyak goreng dan turunnya. Hampir tiap hari media mainstream memberitakan pelarangan itu dengan intensitas yang berulang.

Didengungkan oleh para praktisi, perguruan tinggi, keluarga alumni perguruan tinggi, ormas, bahkan parpol serta lembaga-lembaga penelitian dan banyak lainnya, semua meminta agar Presiden Jokowi saatnya mencabut larangan ekspor itu.

Mereka menilai, Indonesia akan kehilangan devisa dari ekspor minyak goreng. Pemerintah akan kehilangan pajak dari ekpor tersebut. Pemerintah akan rentan karena bila devisa ini tidak dapat terpenuhi, dikhawatirkan nilai transaksi berjalanan dari neraca perdagangan akan kehilangan momentum surplusnya.

Baca Juga: Piala Thomas: Saksikan Indonesia Vs Jepang, India Tantang Denmark, Jumat 13 Mei 2022, pukul 19.00 Wib

Bila ini terjadi akan menimbulkan tekanan pada nlai tukar mata uang, sehingga rupiah juga dapat melemah, dan dollar Amerika menguat, sehingga butuh banyak rupiah untuk membeli barang-barang impor.

Sisi lainnya, juga mengundang kriminalitas dalam bentuk terjadinya penyelundupan minyak goreng akibat disparitas harga yang tinggi dari harga minyak goreng di pasar global dengan keinginan pemerintah untuk menetapkan harga minyak goreng kembali ke Rp 14.000/lt.

Dibalik banyaknya tekanan kepada pemerintah, jarang terlihat media dan kalangan pengkritik pemerintah termasuk DPR untuk memberikan pembelaan, bahwa pelarangan itu dimaksudkan untuk menetapkan moral hazard kepada kalangan  industri minyak goreng untuk memperhatikan masyarakat Indonesia yang daya beli nya berkurang banyak akibat kenaikan harga minyak goreng menjadi Rp 25.000/lt dari sebelumnya Rp 14.000/lt.

Baca Juga: Putin Tuduh Negara AS dan Sekutunya Sebagai Penyebab Krisis Ekonomi Global

Harga minyak goreng tinggi, karena harga minyak goreng di pasar international mengalami kenaikan. Pasokan minyak goreng  dari Ukraina sebagai negara penghasil minyak goreng dari bunga matahari terganggu karena negara ini terlibat konflik perang dengan Rusia.

Kenaikan ini memicu harga minyak goreng nabati lainnya, seperti minyak goreng asal sawit juga mengalami kenaikan.

Tidak ada kenaikan harga minyak goreng karena harga bahan baku minyak goreng seperti biji sawit mengalami kenaikan. 

Pasar konsumsi domestik minyak goreng tidak mengganggu ekspor industri minyak goreng karena produksi minyak nasional surplus. Malah dari 51 juta ton produksi minyak goreng yang dialokasikan untuk kebutuhan domestik 18 juta ton/tahun.

Baca Juga: Share HOAX Catut Wapres KH Ma’ruf Amin Sholat Jenazah Pakai Rukuk, MUI Sulsel Sebut Itu Dosa

Pembelaan

Kalangan yang meminta pemerintah mencabut larangan ekspor juga meminta pemerintah memberikan perhatian terhadap petani sawit.

Diperkirakan ada sekitar 3 juta petani sawit yang terpapar harga biji sawit yang murah. Tapi ada sumber lain yang menyebutkan bahwa jumlah petani sawit tidak lebih dari 600 ribu orang.

Salah satu dampak nyata dari kebijakan larangan ekspor tersebut adalah penurunan harga TBS (tandan buah segar) petani kelapa sawit.  Rendahnya penyerapan CPO akibat larangan ekspor membuat harga TBS tertekan. 

Baca Juga: Daya Tahan Anak yang Lemah, Jadi Faktor yang Memudahkan Hepatitis Akut Misterius Berkembang

Bahkan, sejumlah pabrik kelapa sawit dalam waktu dekat akan sulit menerima TBS dari petani karena tanki-tanki penyimpanan CPO yang mulai penuh.
Dari pantauan di lapangan, penurunan harga TBS kelapa sawit terjadi di hampir seluruh wilayah pasca pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya dua pekan lalu. 

Di Sumatra Selatan, harga TBS petani turun sekitar Rp 500 per kilogram. Di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp 1.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 2.900 per kilogram. Penurunan harga TBS juga terjadi di wilayah sentra perkebunan kelapa sawit lainnya seperti Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi.

Kerugian

Kalangan yang mengkritik pemerintah mengingatkan, devisa yang dihasilkan dari ekspor minyak sawit mencapai USD 35 milliar pertahun atau hampir Rp 500 triliun. Nilai ekspor ini sangat berpengaruh terhadap upaya untuk menghasilkan surplus transaksi berjalan.

Baca Juga: Warga Jungjang Arjawinangun Gempar. Mayat Pria Mengambang di Sungai Karang Dawa

Bila transaksi berjalan negatif tentu pemerintah butuh upaya lagi untuk menambah pasokkan dollar. Sementara itu, Departemen Perdagangan mengklaim, pemerintah Indonesia tidak takut kehilangan devisa negara sebagai dampak pelarangan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sejak 28 April.

Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Veri Anggrijono memastikan pelarangan ekspor minyak sawit mentah tidak akan berlangsung lama.  Bisa jadi Itu konsekuensinya. Kita ya kehilangan devisa. Kebijakan ini kan untuk rakyat juga supaya minyak goreng terjangkau.

Kemendag memantau bahwa saat ini, harga minyak goreng mulai turun. Mungkin belum mencapai Rp 14.000/lt. Tapi sudah ada tanda-tanda, kebijkan Presiden Jokowi dalam melarang ekspor mulai diperhatikan kalangan industri.***

Editor: Aria Zetra

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler