Menurutnya, kuota belajar yang besar tersebut, akan sangat minim pemakaiannya. Hal itu, disebabkan karena kuota belajar hanya dapat digunakan untuk membuka aplikasi layanan pendidikan yang jumlahnya pun terbatas.
Belum tentu pula, aplikasi tersebut yang dipakai belajar daring selama ini.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Terdampak Total Kasus Covid-19 Jakarta, Menkeu Revisi Prediksi ke -1,7 Persen
"Kuota belajar dalam paket yang diberikan berdasarkan apa spesifikasinya, apakah aplikasi yang sudah menjadi partner Kemendikbud atau semua aplikasi dapat dipergunakan dengan tidak terikat pada provider tertentu, sehingga peserta didik dapat memanfaatkan paket belajar," tutur Retno.
Berdasarkan survey KPAI pada April 2020, mengungkapkan bahwa PJJ secara daring didominasi dengan penugasan melalui berbagai aplikasi media sosial.
Seperti whatsApp, email, dan media sosial Instagram. Artinya, peserta didik atau guru dan dosen perlu menggunakan kuota umum lebih banyak.
"Kalau misalnya peserta didik melakukan pembelajaran, tapi dari sekolah harus menggunakan aplikasi lain selain dari yang dipaketkan, itu berarti akan masuk ke kuota umum," katanya.
Baca Juga: Waspada, Penularan Covid-19 Bisa Terjadi dari Kegiatan Joging Tanpa Protokol Kesehatan
Merujuk pada hasil survey KPAI, mengatakan kuota belajar berpotensi mubazir karena minim digunakan. Sebab, mayoritas guru justru lebih senang menggunakan aplikasi yang difasilitasi oleh kuota umum.
"Kalau kuota belajar minim pemakaiannya padahal kuotanya besar, maka hal ini perlu disiasati agar uang negara dapat dioptimalkan membantu PJJ daring, jangan malah menguntungkan providernya," ucapnya.