Baca Juga: Abu Bakar Ba’asyir Bebas, Australia Ingatkan Indonesia Tetap Awasi Meski Sudah Bebas
Refly menuturkan tidak ada pakar hukum yang menyatakan bahwa pembubaran itu benar, kecuali pakar hukum yang mungkin di-approve pemerintah, artinya yang memiliki jabatan di pemerintahan.
Jadi, dia melanjutkan, harus dapat membedakan antara politik dan masalah sesungguhnya yang dihadapi.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemerintah dan pendukung-pendukungnya masih ingin bermain di dalam wilayah politik, menghembus-hembuskan radikalisme dan intoleransi untuk mengambil keuntungan dan mempertahankan establishment kekuasaan.
Baca Juga: Minta Mensos Risma Fokus di Penyaluran BST, Luqman Hakim: yang Remeh-Remeh Nanti Aja Diurusnya
"Termasuk juga dalam perspektif Rizal Ramli untuk menakut-nakuti para cukong, mereka menyumbang, sehingga dengan adanya ketakutan radikalisme dan intoleransi ini kelompok yang kuat secara ekonomi," ujarnya.
Mereka yang menjadi minoritas dari sisi etnis atau kelompok, akan mau menggelontorkan dananya dalam proyek melawan yang namanya radikalisme dan intoleransi, jelasnya.
Sebagaimana yang dilakukan juga oleh negara besar ketika bicara tentang perang melawan terorisme.
Baca Juga: Dituding Bela FPI hingga Terpapar Radikalisme, BEM UI Beri Klarifikasi Soal Penolakan Pembubaran FPI
Refly menyebut hal itu sebenarnya tidak mudah untuk diuraikan secara terus terang.