Dinasti Politik Presiden Jokowi, PKS: Tanpa Proses Mentoring, Hanya Hasilkan Pemimpin Instan

29 Juli 2020, 10:18 WIB
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera //Instagram.com @mardanialisera

PR CIREBON - Lingkaran Dinasti Politik yang disinyalir akan terbentuk dari keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih menjadi perbincangan publik.

Mulai dari keikutsertaan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dalam Pilkada Solo, hingga berlanjut ke menantu Presiden Bobby Nasution yang juga akan berusaha merebut takhta kekuasaan sebagai bakal calon Wali Kota Medan.

Sontak saja, ini memancing komentar lagi dari Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera.

Baca Juga: Fakta Menarik Bang Yedam, Vokalis TREASURE Bersuara Emas yang Raih Kesuksesan Lewat Debut Solo

Sebagaimana telah diberitakan Warta Ekonomi dengan judul "Sindir Gibran, Mardani PKS: Dinasti Politik dan Pemimpin Instan!"

Mardani berpendapat dunia saat ini memang tak bisa dipungkiri sudah banyak yang melakukan praktek dinasti politik.

Dalam contohnya, Anggota Komisi II DPR RI ini merujuk Amerika Serikat saat anak dan ayah pernah menjadi Presiden AS, George Walker Bush, dan ayahnya, George Herbert Walker Bush.

Hanya saja, hal itu tetap tidak bisa disamakan dengan anak Presiden Jokowi yang saat ini maju dalam Pilkada Solo 2020.

Baca Juga: Bermimpi Miliki HP Demi Bisa Belajar Online, Pelajar SMP Ini Rela Cabuti Rumput

Tepatnya, Mardani berpendapat bahwa dinasti politik di negeri Paman Sam itu lebih bersifat mentoring, sehingga saat anak menyusul maju dalam pemilu, ternyata mereka terlebih dahulu aktif dalam partai dengan memiliki pengalaman di pemerintahan.

"Dikaitkan dengan merebaknya dinasti politik, kami berpandangan ini buruk buat demokrasi. Ini bagian dari residu demokrasi. Benar negara-negara lain juga ada praktik dinasti politik. Tapi kalau dipetakan lebih jauh, setidaknya ada dua jenis. Kalau Amerika polanya mentorship, jadi mereka memang dari bawah," ungkap Mardani di Gedung DPR.

Artinya, saat seseorang ingin mengikuti jejak keluarganya mnjadi pemimpi, maka ia sudah memiliki jejak prestasi yang bisa diuji terlebih dahulu.

Baca Juga: Merasa Tersindir dengan Hotman Paris, Jerinx SID: Saya Pikir Anda Pintar dengan Sesama Kulit Hitam

Bahkan bila merujuk kasus dalam negeri, Mardani mengambil contoh seperti yang terjadi pada putri Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani.

Menurut Mardani, pengalaman politik dan kepemimpinan Puan harus dijadikan contoh buat putra dan menantu Jokowi, karena Puan dinilai telah memulai karir politik dari bawah, seperti mulai dari Ketua Bapilu PDIP Jawa Tengah, Anggota DPR, hingga Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

"Saya agak memuji Ibu Puan Maharani. Sebelum ketua DPR kan sempat ketua Bapilu (PDIP) Jawa tengah. Kemudian maju DPR, kemudian jadi Menko (Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan)," terang Mardani.

Baca Juga: Mendikbud Minta Maaf usai Ditinggal 3 Organisasi Besar, Nadiem Makarim: Semoga Mereka Mau Bimbing

Dengan proses berjenjang itu, Mardani menilai tidak ada masalah jika kemudian anak seorang yang pernah menjadi pejabat negara juga ikut dalam kontestasi pemilu, seperti Puan Maharani.

Dalam arti lain, disimpulkan bukan orang yang tanpa pengalaman sedikit pun mengurus organisasi masyarakat, tetapi orangtua memiliki kuasa hingga tiba-tiba maju kontestasi.

"Yang tidak tepat pandangan saya dan ini berbahaya ketika prosesnya instan. Tiba-tiba saja dia langsung maju dan bertanding (jadi kepala daerah). Padahal kalau bisa ketua RT, RW, Karang Taruna, KNPI, sehingga ada urusan publik yang diurus. Karena ketika kita mengurus urusan publik, itu ada banyak dinamika," papar Mardani

Baca Juga: Percaya Diri Punya Antisipasi Kuat, Menhub Budi Karya Pastikan Tak Ada Larangan Mudik Idul Adha 2020

Dengan demikian, jika praktik politik dinasti seperti yang terjadi saat ini terus dilakukan, maka hanya akan berdampak buruk pada demokrasi di Tanah Air.

Untuk itu, Mardani mengharapkan ke depannya perlu adanya perbaikan sistem pemilu di Indonesia saat ini.

"Jadi pandangan saya, dinasti politik ini buruk dan residu demokrasi. Karena itu kita harus mengoreksinya di RUU Pilkada yang akan datang," pungkas Mardani.***(Redaksi WE Online)

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Warta Ekonomi

Tags

Terkini

Terpopuler