Berencana Lakukan Penambangan di Bulan, Pemerintahan Trump Susun 'Pakta Artemis'

- 7 Mei 2020, 19:00 WIB
 ILUSTRASI pendaratan astronot di Bulan pada program Artemis.*
ILUSTRASI pendaratan astronot di Bulan pada program Artemis.* /dok. NASA

PIKIRAN RAKYAT - Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump menyusun landasan hukum untuk kegiatan penambangan di bulan melalui perjanjian internasional yang dinamakan "Artemis Accord" (Pakta Artemis).

Dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Reuters, perjanjian usulan AS itu akan menjadi upaya terbaru Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menggalang dukungan guna mewujudkan rencana menempatkan manusia dan stasiun ruang angkasa di bulan pada beberapa dasawarsa mendatang.

Langkah tersebut turut menunjukkan pesan NASA mulai memainkan peran aktif menerapkan kebijakan luar negeri AS.

Baca Juga: Gunakan Hak Veto Lancarkan Perang Lawan Iran, Trump: Ini Resolusi yang Sangat Menghina

Meskipun begitu, draf resmi buatan AS itu belum dibagikan ke negara-negara mitra atau sekutu.

Pemerintahan Trump dan negara dengan aktivitas luar angkasa lainnya menempatkan bulan sebagai salah satu aset strategis.

Bulan dianggap memiliki nilai penelitian jangka panjang yang dapat mewujudkan misi masa depan di Planet Mars.

Baca Juga: Terkait Pelarungan Jenazah ABK WNI, Menteri Edhy Prabowo Bicara Soal 4 Syarat Aturan ILO

Walaupun begitu, misi yang diatur hukum luar angkasa internasional itu dinilai mulai kehilangan popularitasnya.

'The Artemis Accord', perjanjian internasional yang meminjam nama misi ke bulan NASA, mengusulkan penetapan 'zona aman' yang mengelilingi bulan di masa depan.

Zona aman itu dibuat demi mencegah konflik antarnegara atau antarperusahaan yang beroperasi dalam jarak dekat di bulan.

Baca Juga: Beda Komentar Edhy Prabowo dan Susi Pudjiastuti Tanggapi Eksploitasi Pelarungan ABK WNI

Nantinya, Pakta itu dibuat sebagai landasan hukum bagi perusahaan-perusahaan untuk menguasai sumber daya mineral yang mereka tambang di bulan.

Sejumlah pejabat AS berencana merundingkan secara resmi perjanjian itu dengan pihak lain seperti Kanada, Jepang, negara-negara Eropa, serta Uni Emirat Arab pada beberapa minggu mendatang.

AS kemungkinan akan membuka pembicaraan dengan negara yang sepaham mengenai rencana penambangan di bulan.

Baca Juga: Pasien Covid-19 Butuh Banyak Protein, Ahli Gizi Rekomendasikan Konsumsi Ikan Kembung

Rusia, mitra utama NASA di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), kemungkinan tidak akan dijadikan mitra dalam rencana tersebut.

Pasalnya, Pentagon telah menghadapi sejumlah manuver berbahaya Moskow terhadap satelit mata-mata AS yang mengorbit Planet Bumi.

Amerika Serikat, anggota Perjanjian Luar Angkasa 1967, beranggapan 'zona aman' di bulan sebagai penerapan salah satu poin pakta yang banyak diperdebatkan.

Baca Juga: Rekan Ferdian Sebut Video Prank Hanya Iseng, Polisi: Libatkan Unsur Pidana Tetap Diproses

Kesepakatan itu menyebutkan benda langit dan bulan 'tidak dapat dikuasai lewat klaim kedaulatan, pendudukan/penjajahan, atau cara lainnya'.

"Perjanjian itu bukan upaya mengklaim teritori (bulan)," kata seorang sumber yang enggan disebut namanya sebagaimana dilaporkan Reuters.

Aturan mengenai zona keselamatan kemungkinan dibuat dengan mengizinkan adanya koordinasi antarpemangku kepentingan, sehingga mereka secara teknis tidak perlu mengklaim kedaulatan negara di wilayah tertentu.

Baca Juga: Terkait Pelarungan Jenazah ABK WNI, Kemenlu RI akan Panggil Duta Besar Tiongkok

Zona keselamatan itu rencananya dibuat dengan luas bervariasi tergantung jenis dan besaran kegiatan.

"Jika kalian akan mendekati wilayah operasional pihak lain, dan mereka telah menetapkan zona keselamatan di sekitarnya, maka kalian perlu menghubungi pihak tersebut terlebih dahulu, berkonsultasi, dan berkoordinasi mengenai cara aman mencapai wilayah tersebut sehingga aman bagi seluruh pihak," ujar sumber tersebut.

Pakta Artemis merupakan salah satu rencana pemerintahan Trump untuk menggalang dukungan dari 'negara-negara sepaham' tanpa melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Baca Juga: Baznas Jawa Barat Umumkan Besaran Zakat Fitrah yang Harus Dibayarkan, Berikut Rinciannya

Langkah itu dilakukan karena suatu perjanjian membutuhkan waktu yang panjang sampai akhirnya disepakati.

Tidak hanya itu, perundingan dapat jadi tidak efektif jika melibatkan negara tanpa program luar angkasa, demikian kata pejabat senior AS.

Saat banyak negara menjadikan luar angkasa sebagai tujuan pangkalan militer yang baru, pakta yang diusulkan AS itu turut menunjukkan peran NASA sebagai alat diplomasi luar negeri AS.

Baca Juga: Dapat Kado Indah saat Pandemi Corona, 20 Bidan di Kota Cirebon Dilantik Jadi PNS

Langkah itu diyakini dapat memicu perdebatan di antara para pesaing, misalnya Tiongkok.

"Program-program NASA terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan penemuan, yang kesemuanya penting, tetapi saya pikir gagasan bahwa NASA merupakan alat diplomasi kurang relevan dibahas.

"Tujuan penting kami, negara-negara di seluruh dunia menjadi bagian dari (program) ini. Itu menunjukkan kekuatan nasional (AS),” kata pimpinan NASA, Jim Bridenstine.

Baca Juga: Peneliti LIPI Ungkap Alasan Virus Corona Lebih Lambat Bermutasi Dibanding Virus Influenza

Ia menambahkan, keterlibatan negara-negara lain pada program Artemis bersifat sementara bergantung dengan perilaku yang ditunjukkan saat menjalani misi di luar angkasa.

NASA menanamkan modal puluhan miliar dolar AS ke program Artemis, misi yang berupaya menempatkan manusia di bulan pada 2024.

Misi itu juga bertujuan memastikan keberadaan manusia secara berkelanjutan di kutub selatan bulan.

Baca Juga: Diduga Korsleting Listrik, Kios di Pasar Celancang Kabupaten Cirebon Dilalap Si Jago Merah

Program itu juga berencana memfasilitasi perusahaan swasta menambang batu dan menghisap air bawah tanah di permukaan bulan yang dapat diubah menjadi bahan bakar.

AS pada 2015 mengesahkan undang-undang yang melindungi hak kepemilikan terhadap sumber daya yang ditambang para pengusaha di luar angkasa.

Namun, aturan hukum semacam itu belum pernah dibuat dan diakui komunitas internasional.

Baca Juga: Perlu Pengawasan Ketat, Dishub Jabar Waspadai Modus Gunakan Ambulans untuk Mudik

Joanne Gabrynowicz, pemimpin redaksi jurnal sains, Journal of Space Law, mengatakan perjanjian internasional harus dibuat terlebih dahulu sebelum menetapkan 'sejumlah wilayah eksklusif untuk pengembangan ilmu pengetahuan atau untuk alasan apapun'.

"Persoalannya bukan apa yang suatu negara dapat perbuat secara sepihak dan tetap menganggapnya legal," kata Gabrynowicz.***

Editor: Suci Nurzannah Efendi

Sumber: REUTERS


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah