Trump Jadi Penentu Nasib, Pengamat: Jika Dia Menang, Palestina Berada dalam Bahaya

1 Juli 2020, 14:49 WIB
Protes Warga Palestina pada Rencana Israel.* /AFP/Said Khatib

PR CIREBON - Aneksasi yang didengungkan Israel diperkirakan akan mundur atas ancaman Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, sehingga secara otomatis petak-petak Tepi Barat dan Lembah Jordan masih dalam status siaga.

Adapun perampasan tanah itu merupakan bagian dari 'rencana perdamaian' Israel-Palestina yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump yang dikeluarkan pada Januari 2020 lalu.

Saat itu, Trump mengusulkan kedaulatan Israel atas sepertiga Tepi Barat dan pembentukan negara Palestina.

Baca Juga: 121 Warganya Divonis Penjara Seumur Hidup, Pemerintah Turki: Mereka Pantas Menderita dan Harus Jera

Melansir dari Arab News, Netanyahu telah memberikan ancaman akan memulai aneksasi tepat pada hari ini, Rabu 1 Juli 2020. Hanya saja, sampai dengan Selasa kemarin tak ada sesi Kabinet Israel yang dijadwalkan.

Kemudian, sejumlah pengamat konflik mengatakan mereka mengharapkan tidak ada langkah yang signifikan.

Baca Juga: Istrinya Tuai Hinaan dari Pembelot, Kim Jong Un Murka hingga Ledakkan Kantornya

Mulai dari seorang Direktur Pusat Komunikasi International di Haifa, Wadie Abunassar mengatakan ada tiga alasan kegagalan Netanyahu untuk melaksanakan ancaman tersebut.

Alasan yang pertama adalah Israel belum mendapatkan lampu hijau dari pihak Amerika Serikat.

"Dia belum menerima lampu hijau dari Amerika, dia telah menerima beberapa pesan kuat dari negara-negara Arab dan asing, dan terlepas dari semua perhatian," tutur Wadie Abunassar, seperti yang dikutip dari Arab News.

Baca Juga: Demi Capai Reformasi, Puluhan Ribu Warga Sudan Serempak Berdemo Tanpa Peduli Protokol Kesehatan

Alasan berikutnya, para pemimpin Palestina, PBB dan negara-negara Eropa dan Teluk semuanya mengecam pencaplokan tanah yang akan dilakukan oleh Israel.

Selain itu, Benny Gantz yang merupakan mitra koalisi Netanyahu sekaligus juga pemimpin dari partai Biru dan Putih, telah mendesak penundaan hingga pandemi virus corona mereda.

Sedangkan, Menteri Pendidikan Israel Zeev Elkin menolak kemungkinan adanya aneksasi langsung.

Baca Juga: Infeksi Melonjak Tajam, Fauci: Tidak Ada Jaminan AS Memiliki Vaksin Covid-19 yang Aman dan Efektif

"Siapa pun yang melukis gambar segala sesuatu yang terjadi dalam satu hari pada 1 Juli, melakukannya dengan risiko sendiri," jelas Elkin.

Di sisi lain, seorang Kepala lembaga think tank Masarat di Ramallah mengatakan kepemimpinan Palestina mejaga pilihannya tetap terbuka.

"Mereka menunggu untuk melihat hasil pemilu AS pada bulan November, dan akan lebih khawatir tentang pencaplokan selama masa transisi jika Presiden Trump kalah, tetapi jika Trump menang, pihak Palestina akan berada dalam masalah besar," jelas Masarat.

Baca Juga: Hampir Catat Rekor Tertinggi, Indonesia Justru Alami Penurunan Peringkat Kasus Covid-19 Tingkat Asia

Kemudian, seorang analis Senior di International Crisis Group, Zalzberg membenarkan jika pencaplokan pada tanggal 1 Juli tidak akan terjadi.

"Terlalu dini untuk merayakannya. Israel akan kembali ke Gedung Putih untuk melihat apakah penasihat presiden AS Jared Kushner akan setuju untuk mengizinkan Netanyahu untuk mendorong melalui aneksasi tanpa dukungan dari Partai Biru dan Putih," jelas Zalzberg.

Sementara itu, sebelumnya Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres mendesak Israel untuk membatalkan rencananya mencaplok bagian Tepi Barat Palestina.

Baca Juga: Dari Zico hingga TREASURE, Berikut Daftar Comeback dan Debut Idol K-Pop Bulan Juli 2020

Antoni Guterres berpendapat dalam laporan resmi pada 23 Juni 2020, tindakan tersebut akan menjadi pelanggaran paling serius terhadap hukum internasional.

Secara jelas laporan menyatakan bahwa pencaplokan Israel akan menghancurkan harapan dalam negosiasi baru dan akhir dari kedua negara tersebut.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Arab News

Tags

Terkini

Terpopuler