Indonesia Semakin Dililit Utang Luar Negeri, Anggota DPR RI Anis Byarwati Sebut Pemerintah Gagal

- 4 Mei 2021, 10:00 WIB
Anis Byarwati, soroti utang luar negeri Indonesia yang semakin membengkak, hingga defisit APBN melebar
Anis Byarwati, soroti utang luar negeri Indonesia yang semakin membengkak, hingga defisit APBN melebar /Dok. DPR RI

PR CIREBON — Anggota Komisi XI DPR RI, Fraksi PKS, Anis Byarwati, menyebut pemerintah Indonesia telah gagal dalam membelanjakan utang luar negeri. Padahal utangnya semakin membengkak, hingga defisit APBN melebar.

Anis Byarwati mengatakan, kalau pihaknya sudah sering menyoroti dan mengingatkan pemerintah mengenai utang luar negeri yang semakin membengkak.

Jangankan mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen, menurut Anis Byarwati, pertumbuhan ekonomi pada masa normal saja maksimal hanya mampu mencapai angka 5,6 persen.

Baca Juga: Kim Jong Un Tuding Presiden AS Joe Biden Menantang Perang ke Korea Utara

Terlebih, di masa pandemi Covid-19 sekarang ini pertumbuhan malah minus.

“Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah defisit APBN melebar, utang melambung, tapi Pemerintah gagal membelanjakan utang,” tandasnya, Senin 3 Mei 2021, sebagaimana dikutip Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari laman Parlementaria.

“Ini bisa terlihat dari adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2 persen (2019) menjadi 6,3 persen (2020) dan diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7 persen di tahun 2021,” paparnya lagi.

Baca Juga: Quotes Ramadhan Hari ke-22 Puasa: Karakter Muttaqin, Ciri Orang Beriman dan Bertaqwa

Melihat catatan Bank Indonesia (BI), utang luar negeri (ULN) Indonesia tembus di angka 422,6 dollar Amerika Serikat miliar per akhir Februari 2021, setara dengan Rp6.164,46 triliun (kurs Rp14.587 per dolar AS).

Dengan begitu, posisinya naik 4 persen (yoy), menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya, sebesar 2,7 persen (yoy).

Angka tersebut menunjukan ULN Indonesia semakin membengkak.

Baca Juga: Doa Hari ke-22 Puasa Ramadhan: Agar Terhindar dari Kesempitan Hidup, Dilengkapi Doa Niat Zakat Fitrah

Lebih lanjut, Anis Byarwati menjelaskan, defisit langkah normal di saat resesi harus memerlukan kehati-hatian dalam pelaksanaan kebijakan defisit itu.

Karena, sebagian besar defisit APBN dibiayai oleh utang tersebut. Ini artinya semakin lebar defisit, maka utang juga semakin besar.

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI lantas menambahkan, bahwa untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan.

Baca Juga: Sempat Viral Karena Larangan Gunakan Masker saat Ibadah, Polisi Pastikan Masjid di Bekasi Terapkan Prokes

Tetapi dia menyebut, acapkali yang terjadi adalah Pemerintah justru gagal membelanjakan utang luar negeri.

Disebutkannya, hal itu tercermin dari melihat besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir yang mencapai Rp10 triliun, hingga Rp30 triliun setiap tahunnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menegaskan, bahwa pelebaran defisit bisa disebabkan oleh tingginya anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Melihat data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN sempat tersendat diawal-awal, lalu dipercepat di akhir tahun.

Baca Juga: Ramalan Kartu Tarot Harian, Selasa 4 Mei 2021: Zodiak Leo, Virgo, Libra, dan Scorpio, Harus Dinamis

Sementara, realisasi anggaran program PEN sampai dengan akhir 2020 tercatat Rp579,78 triliun atau 83,4 persen dari pagu sejumlah Rp695,2 triliun.

“Hal ini tentu akan merugikan, karena utang yang sudah ditarik tetapi tidak maksimal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” kata Anis Byarwati.

Dirinya juga menuturkan, kalau selama kurun waktu beberapa tahun terakhir, primary balance Indonesia selalu tercatat negatif.

Menurut Anis, saat primary balance negatif, itu menunjukan pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang.

Baca Juga: POPULER HARI INI: India Makin Lumpuh Akibat Covid-19 Hingga Sule Ungkap Penyesalan Setelah Menikah

Pemerintah hanya bisa menerbitkan utang luar negeri baru yang dipergunakan membayar utang yang lama.

“Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia,” nilai Anis Byarwati.

Kemudian, dirinya mengingatkan catatan penting bagi pemerintah, khususnya terhadap Menteri Keuangan.

Bahwa, di masa pra-pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24 persen (2014) menjadi 30,2 persen (2019).

Baca Juga: Raffi Ahmad Bentuk Rans Cilegon FC, PSSI: Bawa Angin Segar untuk Sepak Bola Indonesia

Peningkatan debt to GDP ratio tersebut memperlihatkan selama periode itu penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB.

Maka dapat diartikan, utang Pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional. Pada tahun 2020, debt to GDP ratio diperkirakan mencapai 37 persen dan terus meningkat menjadi 41 persen pada tahun 2021.

“Ini merupakan sinyal kurang bagus, yang artinya Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,” pungkas legislator dapil DKI Jakarta I itu.***

Editor: Tita Salsabila

Sumber: DPR RI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x