فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Artinya, “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, baik atas budak, merdeka, lelaki, perempuan, anak kecil, maupun dewasa, dari kalangan kaum muslimin.” (HR Bukhari dan Muslim).
Beberapa ketentuan
Baca Juga: Sudahkah Tanah yang Digunakan untuk Mesjid Bersertifikat?
Sesuai ketentuan, dengan apa zakat fitrah dibayarkan? Sesuatu yang dikeluarkan untuk zakaf fitrah pada dasarnya makanan pokok dengan bobot satu sha’ atau jika di Indonesia berupa beras setara ukuran 2,7 kg atau 3,0 liter. Hal itu mengikuti pendapat Imam asy-Syafi'i.
Pendapat tersebut juga didukung mayoritas ulama dan masih sangat banyak diikuti oleh masyarakat umum. Ini juga terkait Keputusan Muktamar ke-4 NU tahun 1929 yang tidak membolehkan zakat penghasilan tanah dengan uang, termasuk zakat fitrah.
Akan tetapi di zaman kemajuan seperti sekarang menuntut semua agar lebih praktis, termasuk dalam membayar zakat. Bukankah yang simpel itu jika menggunakan uang?
Imam asy-Syafi'i yang juga sependapat dengan mayoritas ulama memang tidak membolehkan pembayaran zakat dalam bentuk uang (qimah).
Baca Juga: Delman Diminta Hentikan Beroperasi, Beberapa Hari Jelang dan Sesudah Lebaran
Hanya saja dengan mempertimbangkan kepraktisan maka Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) pernah memutuskan tentang kebolehan konversi zakat dengan uang, dengan mengacu pada ulama yang membolehkan.