Ada 'Pemain' Dibalik Demo Anarkis Tolak UU Omnibus Law, Boni Hargens Beberkan Hasil Investigasinya

- 13 Oktober 2020, 06:57 WIB
DIREKTUR Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM) Bin Firman Tresnadi tantang Boni Hargens laporkan nama-nama tokoh opisisi yang merancang kudeta pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.*
DIREKTUR Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM) Bin Firman Tresnadi tantang Boni Hargens laporkan nama-nama tokoh opisisi yang merancang kudeta pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.* /Antara/

PR CIREBON - Analis politik senior sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens menemukan ada indikasi keterpautan beragam kepentingan dan kelompok 'pemain' di balik unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Pernyataan tersebut disimpulkan berdasarkan investigasi independen yang dilakukan oleh lembaganya, bahkan sebelum adanya aksi 8 Oktober 2020 sampai hari ini.

"Gelombang aksi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja memunculkan tanda tanya. Apakah benar ini untuk kepentingan buruh atau ada pihak lain yang menunggangi aksi buruh," kata Boni Hargens dalam keterangan tertulisnya, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara News.

Baca Juga: Prihatin Dituduh Dalang Demo Tolak UU Omnibus Law, SBY: Dari Ani Masih Ada, Nasib Saya untuk Sabar

Dalam investigasinya, secara garis besar, ada dua kelompok yang terlibat dalam aksi 8 Oktober, dan yang juga akan bergabung dalam aksi lanjutan 13 Oktober 2020 dan aksi-aksi yang akan datang.

Pertama, kelompok buruh dan para aktivis yang ideologis ingin memperjuangkan kepentingan buruh. Mereka benar-benar mempersoalkan pasal-pasal yang menurut mereka berpotensi multitafsir.

"Kelompok tipe ini tentu penting untuk diterima sebagai kritik dan saran untuk evaluasi dalam konteks judicial review jika itu dinilai perlu," katanya.

Baca Juga: Demokrat Bukan Lawan Negara dengan Tolak UU Cipta Kerja Disahkan, SBY Jelaskan Alasannya

Kedua, yaitu kelompok massa yang dimobilisasi oleh oknum dari partai politik oposisi dan dari kelompok anti pemerintah yang selama ini memainkan peran sebagai oposisi jalanan.

Ada yang massa partai, massa ormas, dan bahkan ada kelompok pengacau yang biasa dikenal sebagai kaum "anarko".

Massa tipe kedua inilah yang kemarin terlibat dalam aksi anarkisme, perusakan fasilitas umum, termasuk penyerangan terhadap aparat keamanan dari kepolisian.

"Kami tidak mempunyai otoritas untuk membeberkan identitas dari para penyumbang dana dalam aksi ini, karena itu wilayah hukum yang menjadi yurisdiksi kepolisian. Namun, apa yang dikatakan pemerintah melalui beberapa tokoh di pemerintahan, sungguh benar bahwa ada bandar yang mendanai aksi 8 Oktober dan aksi-aksi lanjutannya," kata Boni.

Baca Juga: Pedoman Beribadah saat PSBB Transisi, Pemprov DKI Imbau untuk Catat Pengunjung

Dia menyebutkan, ada kelompok partai yang ingin menaikkan popularitas untuk memastikan kemenangan dalam Pilkada 2020 dan persiapan Pemilu 2024.

Apalagi kalau electoral threshold nanti dinaikkan ke 7 persen, maka partai oposisi ada yang terancam punah, mereka ini bekerja keras untuk mendegradasi citra partai pendukung pemerintah untuk menyelamatkan partai mereka dalam Pilkada 2020 dan Pemilu 2024.

Jadi, ada banyak aktor yang bermain dalam aksi ini. Sebagian besar tidak memikirkan kemaslahatan buruh, melainkan sekadar menjadikan isu buruh sebagai pintu masuk untuk menyerang pemerintah.

Baca Juga: Belum Dapat Kartu Tani, Petani Tetap Bisa Membeli Pupuk Bersubsidi

Maka tidak mengejutkan sebetulnya ketika ada temuan di lapangan bahwa banyak peserta aksi tidak memahami pasal-pasal dalam UU Ciptaker yang menjadi alasan aksi itu ada.

"Mereka hanyalah massa mengambang yang dimobilisasi untuk menyerang pemerintah. Kelompok ini yang secara pragmatis direkrut dan dimobilisasi untuk terlibat dalam aksi anarkis," demikian Boni Hargens.*** 

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Antara News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x