Paradigma UU Cipta Kerja Dinilai Membahayakan, Dekan FH UGM Buka Suara

- 7 Oktober 2020, 13:00 WIB
Ilustrasi degung UGM.*
Ilustrasi degung UGM.* /

PR CIREBON – Prof. Sigit Riyanto selaku Dekan Fakultas Hukum Univsersitas Gadjah Mada menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law yang baru saja disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dirasa berbahaya karena pengelolaan sumber daya negara diarahkan diolah secara ekstraktif.

“Paradigma Undang-Undang ini menunjukkan bahwa negara kita diarahkan pada pengelolaan sumber daya ekstraktif,” ujar Sigit Riyanto, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara.

“Ini sangat berbahaya dan bertentangan dengan arus global bahwa pengelolaan sumber daya negara itu diarahkan pada proses yang inovatif dan sangat memperhatikan aspek lingkungan sebagai fundamental dari pengelolaan seluruh sumber daya yang ada di negara,” sambung Dekan FH UGM Prof. Sigit Riyanto.

Baca Juga: Tingkatkan Imunitas di Musim Penghujan, Berikut 3 Tips Sederhana Agar Terhindar Pilek dan Covid-19

Sigit Riyanto menilai RUU itu menggunakan pendekatan liberal kapitalistik dalam pengelolaan sumber daya negara sehingga tidak sesuai dan bertentangan dengan konstitusi dan pandangan pendiri bangsa.

RUU itu pada saat yang sama disebutnya justru mengesampingkan perlindungan kepada warga negara sehingga makin termaginalisasi.

Penyusunan Undang-Undang (UU), menurut Sigit Riyanto, seharusnya tunduk pada kaidah dan cara yang mengacu pada peraturan hukum yang baik, dapat dipertanggungjawabkan, dan visioner.

Baca Juga: Dilaporkan karena Wawancara Kursi Kosong, Najwa Shihab Buka Suara dan Tuai Decak Kagum Netizen

Namun, dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini, lanjut Sigit Riyanto, masukan dari akademisi, masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan justru diabaikan.

Padahal seharusnya, UU Cipta Kerja itu dibuat dan diresmikan dengan melalui masukan dari akademisi, masyarakat sipil, pekerja/buruh, dan pengusaha, agar ketika proses peresmiannya tidak menimbulkan polemik pada masyarakat.

Pemerintah dan DPR terkesan terlalu terburu-buru dalam meresmikan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja. Apalagi dalam kondisi pandemi, pemerintah dan DPR seharusnya lebih bijak dalam mengambil keputusan, dengan Omnibus Law yang telah disahkan menjadi UU akan menuai banyak protes yang nantinya berujung pada aksi demonstrasi yang dapat menimbulkan pertambahan klaster baru dalam kasus Covid-19.

Baca Juga: Kecewa dan Sindir DPR Soal UU Cipta Kerja, Netizen Ramai Unggah Formulir Masuk Sunda Empire

“Pembuatan Undang-Undang atau hukum yang sekarang kita hadapi ini adalah menunjukkan ada masalah yang harus disikapi dan direspons dengan kritis dengan harapan kita bisa memperbaiki seluruh kekurangan yang ada,” tutur Dekan FH UGM.

Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) pada hari Senin 5 Oktober 2020 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau UU Omnibus Law.

Dalam rapat tersebut, sebanyak enam fraksi menyatakan setuju, satu fraksi menyatakan setuju dengan catatan, yakni Fraksi PAN, dan dua fraksi menyatakan menolak persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yakin Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).***

Editor: Nur Annisa

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah