Harus Kurangi Produksi Biodiesel, Emisi CO2 yang Dihasilkan Lebih Besar Dari BBM

- 4 Oktober 2020, 10:46 WIB
Ilustrasi uji emisi pada mobil
Ilustrasi uji emisi pada mobil /Diesel Net

PR CIREBON - Emisi karbon dioksida (CO2) dari proses produksi biodiesel yang berasal dari kelapa sawit lebih besar ketimbang bahan bakar minyak (BBM) dari fosil. Hal ini disampaikan Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik.

Dalam Forum Editorial the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) membahas “Build Back Better: Bangkit dari Krisis dengan Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan” secara daring di Jakarta, Sabtu 3 Oktober 2020.

Kiki Taufik mengatakan kebijakan reduksi emisi yang sedang dijalankan pemerintah saat ini belum tepat, contohnya saja pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang memakai biofuel.

Ia menyebut nilai emisi karbon dioksida dari pembakaran satu liter biodiesel 38 persen lebih kecil dibandingkan dengan nilai emisi dari pembakaran minyak solar.

Baca Juga: Hadiri Kondangan Cirebon Bikin 21 Warga Temanggung Positif Covid-19, Bupati: Klaster Baru, Waspada

Berdasarkan data Kementerian Energi Sumbe Daya Mineral (ESDM) tahun 2018, implementasi program B20 di tahun 2017 dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) senilai 3,84 juta ton CO2, atau setara penggunaan biofuel 13.392 bus kecil.

Namun, menurut dia, nilai emisi jejak karbon atau carbon footprint yang dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit ke biodiesel di Indonesia lebih besar dibandingkan bahan bakar fosil, selain koneksi dengan isu HAM di industri sawit.

Untuk memenuhi produksi B100, ia mengatakan membutuhkan produksi 10,58 juta ton crude palm oil (CPO), dan penambahan sekitar 3,78 juta hektare (ha) luas lahan.

Baca Juga: Anies Baswedan Jangan Mau Kalah dari Tri Rismaharini: Surabaya Swab Test Gratis, Jakarta Tidak?

Taufik mengatakan kebijakan reduksi emisi karbon di Indonesia masih belum tepat. Untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Bekelanjutan (SDG) dan Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah memang mengacu kepada dua titik untuk merendahkan emisi, yakni hutan dan transportasi.

Namun, menurut dia, tidaklah tepat untuk memilih biofuel yang berasal dari minyak sawit, juga masih termasuk komoditas yang ekstraktif untuk mendefinisikan apa yang disebut EBT.

Dari data Kementerian ESDM tahun 2019, Indonesia memiliki potensi EBT dari tenaga surya sebesar 207,9 Gigawatt (GW), sementara pemanfaatannya baru mencapai 0,9 GW.

Baca Juga: Ombak Tinggi Mengerikan, Perahu Diterjang Angin Buat Dua Nelayan Hilang di Aceh

Untuk energi dari tenaga angin, Indonesia memiliki potensi sebesar 60,6 GW, namun pemanfaatannya baru mencapai 0,076 GW.

Diakuinya komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon memanglah bagus namun pengimplementasiannya yang masih harus menjadi perhatian, tutup Kiki Taufik.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Antara News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah