Padahal produksi minyak nasional telah melebihi kebutuhan konsumsi dan keperluan biodiesel, sehingga masih banyak yang dapat digunakan untuk keperluan ekspor.
Memang, harga minyak goreng di pasar internatisional sedang mengalami lonjakan tinggi akibat perang Rusia Ukrainia, dan mulai beralihnya konsumsi minyak goreng sebagian negara-negara Eropa ke minyak sawit.
Baca Juga: Pramudya/Yeremia Juara Ganda Putra Badminton Asia Championship 2022
Meresa tidak direspon, pemerintah membuat kebijakan baru dengan menyerahkan harga minyak goreng kepada mekanisme pasar. Besoknya, pasar dibanjiri minyak goreng, baik yang curah dan kemasan. Harga langsung melejit. Harga minyak goreng "bertengger anteng" di Rp 24.000-Rp 25.000/lt.
Masyarakat konsumen menjerit. Cercaan banyak tertuju ke pemerintah. Industri minyak goreng begitu gampang dan mudah mengatur pemerintah. Pemerintah dinilai tidak berpihak kepada masyarakat. Pemerintah tidak memperlihatkan sisi kekuasaan yang dimilikinya.
Pemerintah sangat lemah, tidak berdaya dan tidak memiliki daya cengkram. Apa pemerintah begitu mudah diatur oleh 20 industri minyak goreng yang ada disini? Oligopoli ini benar-benar mempermainkan kebutuhan jutaan masyarakat akan konsumsi minyak goreng.
Baca Juga: Tak Masuk Skuad Timnas ke SEA Games, Begini Perasaan Kakang Rudianto
Upaya pemerintah yang memberikan subsidi untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau bagi masyarakat miskin menguap. Rp 6.7 triliun dikeluarkan pemerintah untuk itu.
Padahal Malaysia yang merupakan salah satu produsen utama minyak sawit, menetapkan harga minyak goreng tidak sampai Rp 10.000/lt. Investor negeri jiran ini, memiliki banyak kebun sawit di Indonesia.
Susah