Instruksi Presiden Menghentikan Ekspor Minyak Goreng untuk Mengetahui Siapa yang Berkhianat

- 25 April 2022, 17:05 WIB
Kebun sawit. Presiden menghentikan impor CPO, Minyak goreng dan turunannya untuk melindungi masyarakat./pikiran-rakyat
Kebun sawit. Presiden menghentikan impor CPO, Minyak goreng dan turunannya untuk melindungi masyarakat./pikiran-rakyat /

SABACIREBON-Instruksi Presiden Jokowi melarang ekspor bahan baku minyak goreng, minyak goreng dan turunnya, untuk memaksa para mafia minyak goreng keluar dari sarangnya. Agar diketahui, siapa yang mengkhianati beliau.

Presiden Jokowi ibaratnnya  sedang  “membakar semak” agar pihak  yang selama ini “mengkhianati” beliau berhamburan keluar. Jokowi sedang gantian “menggoreng” mereka pelan-pelan, kata  Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF Jakarta dalam tulisannya di Facebooknya, "Jokowi Sedang Menggoreng Para Mafia Migor, Harap Bersabar Ini Ujian".

Penangkapan Direktur Jendral Perdagangan Luar  Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardana dan 4 orang lainnya dari kalangan swasta, diduga baru sebatas menangkap wayangnya.

Baca Juga: Dianggap Sesat, Twitter Blokir Iklan Tentang Perubahan Iklim. Ini Alasannya

Seperti diketahui, Instruksi Presiden muncul karena harga minyak tidak kunjung turun walaupun Kemendag sudah mengeluarkan beberapa kebijakan. Harga minyak goreng naik dari Rp 14.000/lt untuk minyak kemasan menjadi Rp 25.000. Harga minyak curah juga demikian. Harga minyak ini mendekati harga minyak kemasan dari sebelumnya hanya Rp 9.000/lt. Pemerintah mengeluarkan aturan DMO yang memprasyaratkan industri harus mengalokasikan 20% produksinya untuk keperluan domestik.

Minyak untuk pasar domestik, yang terdiri dari keperluan  konsumsi dan biodiesel, terpenuhi dari produksi seluruh industri minyak goreng yang ada. Kuota untuk pasar ekspor pun, terpenuhi.

Memang harga minyak goreng di pasar international naik tajam. Indonesia dan Malaysia dikenal sebagai produsen utama minyak goreng dunia.

Baca Juga: Anak Krakatau Tumbuh Makin Tinggi dan Besar

Kebijakan pemerintah untuk melindungi warganya,  agar harga minyak tidak mahal tidak direspon oleh pelaku industri. Sampai kemudian Kemendag mengeluarkan kebijakan untuk meniadakan harga eceran tertinggi (HET). Sehari setelah itu, minyak goreng memenuhi etalase-etalase pasar modern dan supermarket. 

Ibarat bak sebuah pancingan,  umpan yang dilemparkan itu ditangkap industri minyak goreng. Mereka mempertontonkan keleluasaan menjual minyak goreng dengan harga tinggi, sampai kemudian muncul berbagai  kritikan kepada Presiden dan pemerintah nya. Negara dianggap  tidak mampu   memberikan perlindungan kepada warganya.

Negara lebih mementingkan oligarki kekuasaan pelaku industri minyak goreng. Negara diatur oleh mereka. Mereka dituduh mengongkosi rencana penundaan pemilu demi memperpanjang masa jabatan Presiden menjad tiga periode.

Baca Juga: Pemda Bandung tak bisa Memantau Setiap Potensi Gangguan Kondusivitas

Tidak sulit

Menurut Vincent, tidak sulit sekarang untuk melokalisir penyebab harga minyak goreng mahal. Dari empat pihak yaitu konsumen, petani, negara dan pengusaha hanya dua pihak yang bikin gara-gara. Yaitu, oknum aparat negara dan oknum pengusaha (masing-masing beserta konco-konconya). Kedua pihak inilah yang berkolusi dan menjelma menjadi mafia migor.

Sebelumnya, Vicent telah mengindentifikasi pihak-pihak yang saling berkaitan dalam industri minyak goreng. Ada empat pihak, konsumen, petani, negara dan pengusaha. Bagaimana agar keseimbangan antara keempatnya bisa terjaga dengan baik,  artinya semuanya win-win (menang-menang, sama-sama untung).

Dua pihak yang diduga terlibat itu,  terangsang harga CPO dunia yang tinggi, lalu berkonspirasi memalsukan dokumen ekspor. Bahan baku migor yang untuk DMO pun terdeviasi keluar. Migor pun langka maka harga migor melonjak. Hukum ekonomi yang sederhana.

Baca Juga: The Bad Guy Langsung Box Office, Meraih USD 24 juta di Star Awal

Vincent kemudian menambahkan, Jadi yang mesti “dibereskan” adalah dua pihak itu tadi: oknum aparat negara dan oknum pengusaha. Sementara konsumen dan petani rakyat – seperti biasa – selalu hanya jadi korban. Sekaligus dalih (tameng) untuk membenarkan (justifikasi) pembelaan diri para mafia. Demi petani rakyat, demi konsumen… demikian'

Sudah terbuka

Pintu masuk untuk mengidentifikasi para mafia (pemainnya) sudah dibuka berkat keberanian Kejaksaan menangkap “para wayang” dari konspirator (ada yang dirjen ada yang komisaris). KPPU (dan BIN?) pun sudah punya data tentang 8 (delapan) oligarki-kartel, juga dengan siapa saja mereka “bermain”. PPATK pasti bisa membantu, Kepolisian siap bertindak, KSAL sudah memerintahkan jaga lautan dari penyelundup. Sementara KPK… ya KPK boleh terus memonitor.

Baca Juga: Lama Tak Terdengar, Ellyas Pical Mau Nikahkan Putranya

Tinggallah sekarang follow-up yang tuntas… tas… tas!!! Sampai ke mereka yang ada di kantor-kantor ber-AC milik negara maupun swasta. Baik yang ada di Indonesia, maupun yang lagi “ngumpet” di Singapura misalnya.

Pelarangan ekspor ini semacam shock-therapy. Kebijakan ini memang “berbahaya” namun perlu. Ancaman bisa datang dari dalam negeri maupun luar negeri, dengan berbagai bentuknya. Namun mengingat Presiden Jokowi yang berani “vivere-pericoloso” (nyerempet bahaya), inilah jalan yang bisa ditempuh dalam konteks kekinian. Tapi tetap Presiden harus berhati-hati.

Baca Juga: Fabio Quartarao Naik Podium Juarai MotoGP Portugal

Di akhir tulisannya Vincent menyebutkan, bahwa pada waktu yang ditentukan kemudian maka pelarangan itu bakal berhenti. Devisa mengalir kembali, migor tersedia di pasar konsumen dengan harga yang pantas, dan petani sawit punya off-taker lagi. Kembali ke jaman “normal”.***

 

 

 

Editor: Aria Zetra

Sumber: Facebook


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x