PR CIREBON – Memasuki bulan Maret, Indonesia harus banyak-banyak refleksi dengan penanganan pandemi Covid-19 yang sudah mengijak satu tahun.
Bulan Maret adalah bulan yang menjadikan pandemi Covid-19 menjadi genap satu tahun melanda bangsa Indonesia.
Pada umurnya yang genap setahun, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 1,3 juta orang dan 35 ribu lebih di antaranya tidak bisa diselamatkan.
Baca Juga: Putar Ide, Teater Tari di Jepang Temukan Solusi Unik Gaet Penonton
Masalah yang sangat serius adalah semua kebijakan untuk mengendalikan pandemi atau bahkan untuk sekadar menekan angka kasus penularan saat ini masih menunjukkan kegagalan.
Dalam setahun terakhir, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan dan strategi untuk mengendalikan virus corona.
Walau istilahnya berubah-ubah, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Transisi, dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), intinya sama: membatasi pergerakan masyarakat.
Baca Juga: Bingung Buat Laporan SPT Tahunan PPh? Simak Tutorial Lengkap Lewat e-Filling Web
Informasi akurat dan kredibel bagaikan oksigen yang Agar seolah-olah baru, pemerintah Indonesia bulan ini kembali mengeluarkan kebijakan baru yakni PPKM Mikro.
Setali tiga uang dengan berbagai kebijakan sebelumnya, PPKM Mikro saat ini juga memiliki potensi kegagalan yang sama.
Dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari The Conversation, setidaknya ada tiga kelemahan mendasar mengapa berbagai kebijakan tersebut gagal total mengendalikan pandemi saat ini.
Baca Juga: Pentagon Tegaskan akan Pertahankan Hubungan dengan Arab Saudi
Tidak adanya visi bersama
Kelemahan paling mendasar adalah tidak adanya visi bersama (pemerintah dan masyarakat) yang dapat menggambarkan secara jelas tujuan akhir yang ingin dicapai.
Padahal Indonesia sebelumnya telah punya sejarah manis melalui visi Anak Indonesia Bebas Polio yang telah menginspirasi dan mengantarkan Indonesia meraih sertifikasi bebas polio dari WHO pada 2014.
Saat ini, pesan komunikasi utama dari pemerintah yang terus digaungkan hanya “Adaptasi Kebiasaan Baru” dan “Ingat Pesan Ibu”.
Baca Juga: Media Sosial Pribadinya Jadi Tempat Aduan Warga Solo, Gibran Rakabuming: Ingin Semuanya Serba Cepat
Narasi komunikasi ini memiliki kelemahan karena secara tersirat dimaknai hanya sebagai sebuah ajakan untuk hidup dengan kebiasaan baru bersama virus corona.
Memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak seolah menjadi target akhir yang ingin diwujudkan.
Padahal seharusnya tujuan utama yang ingin dicapai adalah membuat angka kasus Covid-19 di Indonesia menjadi nol. Adaptasi kebiasaan baru hanya satu tahapan proses.
Baca Juga: Kebijakan Santunan Korban Covid-19 Dihapus, dr. Tirta: Semoga Bu Risma Memikirkan Solusi
Secara sederhana, visi merupakan sebuah kondisi ideal yang ingin dicapai pada masa depan.
Strategi yang reaktif dan tidak jelas
Kelemahan dari berbagai kebijakan pembatasan adalah tidak ada standar yang jelas kapan sebenarnya berbagai pembatasan tersebut harus diberlakukan.
Selain itu, pemerintah melalui Satgas Penanganan Covid-19 juga telah lama menilai kondisi kabupaten dan kota dengan membagi menjadi zona merah, orange, kuning dan hijau.
Namun pada saat itu strategi pewarnaan ini tidak memiliki kejelasan dan ketegasan konsekuensi yang harus dilakukan oleh kabupaten/kota ketika masuk ke dalam zona tertentu.
Pembatasan dilakukan tanpa peningkatan kemampuan pelacakan
Strategi pembatasan sosial atau wilayah yang selama ini dilakukan pemerintah belum dibarengi upaya serius untuk meningkatkan jumlah pengetesan, pelacakan, dan isolasi.
Padahal agar lebih efektif, sebuah upaya pembatasan harus diikuti dengan kegiatan pengetesan, pelacakan dan isolasi secara besar-besaran.
Baca Juga: Rose BLACKPINK Rilis Album Solo, Disambut Antusias Kpopers Indonesia hingga Trending di Twitter
Sebuah kajian studi terhadap 22 artikel ilmiah dari berbagai negara telah membuktikan hal ini.
Hingga Januari 2021 kemampuan rasio lacak-isolasi (RLI) di Indonesia rata-rata hanya 1,48 orang. Angka tes di pertengahan Februari ini juga anjlok 24,76% dibanding awal bulan sebelumnya.
Kementerian Kesehatan, dalam usulan penambahan anggaran penanganan pandemi tahun ini, hanya merencanakan 10% dari total seluruh anggaran yang diusulkan untuk kegiatan pengetesan dan pelacakan.
Baca Juga: Soal Investasi Miras, Ferdinand Hutahaean Bandingkan dengan Rusia: Negaranya Maju dan Kaya
Akibatnya, ke depan potensi terjadinya efek yo-yo pertumbuhan kasus dapat terjadi. Dalam jangka waktu pendek, pemerintah harus segera memperbaiki ketiga kelemahan tersebut.
Untuk jangka panjang, pemerintah saat ini harus mulai fokus berinvestasi pada upaya peningkatan kemampuan sektor kesehatan masyarakat, pengawasan, dan fasilitas perawatan kesehatan dasar. ***