Abdul Mu'ti Ajak Lihat 4 Demokrasi Sehat, Peran Masyarakat Sangat Aktif

- 28 Desember 2020, 15:29 WIB
Foto Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.*
Foto Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.* /tangkap layar Youtube/Akbar Faizal Uncensored

PR CIREBON - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyatakan bahwa sekarang ini hidup di era keterbukaan informasi, semua orang bisa berkata apapun juga.

"Yang pertama, kita memang sekarang secara politik hidup di era keterbukaan, setelah reformasi 98 itu semua orang bisa berkata apapun juga," kata Abdul Mu'ti, dikutip Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari kanal Youtube Akbar Faizal Uncensored pada Senin, 28 Desember 2020.

Menurutnya, masyarakat menyebutnya sebagai celebrating democracy atau merayakan demokrasi.

Baca Juga: Pakar Teknologi Tewas Dalam Kejadian Bom Nashville, Korban Diduga sebagai Pelaku Pemboman

Selain itu ada juga freedom of expression dan freedom of speech, yang keduanya itu juga merupakan hasil dari konsekuensi dari sistem yang disebut dengan demokrasi.

Karena itu, Abdul Mu'ti mengatakan ada bahwa democracy is noisy atau demokrasi itu gaduh.

Hal itu merupakan konsekuensi, karena ketika semua orang memiliki kebebasan berpendapat maka akan ada banyak pendapat yang dilontarkan.

Dia menuturkan bahwa itu juga sebenarnya sebuah indikasi dari demokrasi yang sehat.

Abdul Mu'ti mengajak untuk melihat teori yang dibentuk oleh Larry Diamond, yang mengatakan ada empat indikasi demokrasi yang sehat.

Salah satunya adalah adanya partisipasi publik yang memang sangat aktif dalam berbagai urusan yang menyangkut kehidupan atau hajat hidup orang banyak.

Baca Juga: Habib Rizieq Kembali Diperiksa Polisi Hari Ini, Terkait Kasus Kerumunan di Megamendung

"Karena itu Bang Akbar mengalami kan ketika menjadi anggota dewan itu banyak sekali ide-ide seliweran, kelompok ini menyampaikan ini. Mulai dari yang substantif yang memang serius sampai yang hanya asal bunyi," ucap Abdul Mu'ti.

Hal itu juga untuk kemudian mendapat akselerasi dari media sosial yang begitu luar biasa dan tidak bisa dikontrol.

"Kalau orang misalnya menggunakan media sebutlah televisi atau koran kan ada regulasi-regulasi yang sangat ketat mengatur. Tapi di media sosial itu kan sebelum ada Undang-Undang ITE nyaris tidak ada aturan, tidak ada sensor, tidak ada editor," ujarnya.

Abdul Mu'ti menuturkan di dalam media sosial semua orang bisa menyampaikan apa saja.

Sehingga hal itu akan menjadi sebuah situasi di mana setiap pendapat itu akan mengalami crowd gate, yang mana ada kerumunan antara yang satu dan yang lain saling bertabrakan.

Dia menjelaskan dalam situasi yang seperti itu ada tiga kemungkinan yang terjadi, yang pertama ada kelompok yang memang sangat dominan mengontrol lalu lintas itu.

Baca Juga: Soal Kasus FPI, Mahfud MD Dukung Penuh Komnas HAM, Refly Harun Berharap Jaminan Menyeluruh

"Makanya sekarang muncul istilah yang dulu tidak pernah dibayangkan namanya buzzer, itu kan dulu tak pernah kita bayangkan tapi eksis sekarang. Dan itu sebenarnya pekerjaannya melakukan apa yang disebut dengan mobilisasi gagasan, yang itu channelnya luar biasa," katanya.

Lalu yang kedua adalah kelompok yang masih setia menggunakan jalur-jalur tradisional.

Misalnya menggunakan saluran-saluran organisasi, saluran-saluran massa yang sifatnya memang sekarang ini disebut konvensional atau tradisional.

Sementara kelompok yang ketiga adalah mereka yang tidak mempunyai semuanya.

"Online tidak punya, jalur-jalur tradisional tidak punya, tapi dia perlu eksis. Eksistensi dia ini kemudian diekspresikan dengan cara-cara yang kita menyebutnya dengan notorious. kan ada istilah notorious dan populer," ujar Abdul Mu'ti.

Baca Juga: Dinyatakan Positif Covid-19, 52 Calon Penumpang KA di Cirebon Batal Berangkat

Dia menguraikan bahwa popular itu terkenal tapi baik sedangkan notorious sebaliknya, terkenal namun bukan dalam hal yang baik.

"Dia ini memang melakukan sesuatu yang memang membuat dia itu menjadi seksi secara publisitas. Karena dia tidak mempunyai channel maka orang akan memberitakan dia, yang dengan pemberitaan itu maka dia akan menjadi populer," katanya.

Dalam kaitan ini maka banyak kecenderungan orang yang mengalami gejala populisme.

Banyak yang ingin terkenal hingga melakukan prank agar menaikan jumlah pengikut dan pengunjungnya.

Akan tetapi walau terkadang hal itu melawan hukum tapi ada kelompok sasaran yang menjadi pasar mereka.

Baca Juga: Dinyatakan Positif Covid-19, 52 Calon Penumpang KA di Cirebon Batal Berangkat

"Tapi karena ada freedom itu, akhirnya akan eksis dan menjadi realitas kehidupan sosial kita. Dalam kaitan ini ada juga orang yang merasa khawatir dengan semua yang terjadi," ucapnya.

Abdul Mu'ti menyampaikan ada juga kelompok yang merasa gelisah dengan fenomena tersebut dan akhirnya bergerak menurut caranya sendiri.

Ketika sesuatu yang tidak baik menjadi populer, misalnya sesuatu yang menentang agama kok pengikutnya berjuta-juta.

"Karena menganggap segala sesuatu bertentangan dengan agama, maka dia menggunakan agama sebagai bagian dari formula untuk mengatasi hal itu," kata Abdul Mu'ti.***

Editor: Tita Salsabila


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah