PTPN Terlantarkan dan Kembali Klaim Tanahnya, Refly Harun: Ada Dua Hal yang Harus Dilakukan

28 Desember 2020, 10:28 WIB
Pakar Hukum dan Tata Negara Refly Harun /YouTube/Refly Harun

PR CIREBON - Mengenai permasalahan tanah dari Pesantren Markaz Syariah di Megamendung yang mendapat somasi dari pihak PTPN VIII masih berkelanjutan.

Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun turut memberikan pandangannya terkait hal ini.

Dia mengatakan bahwa ketika masih di Jasa Marga sering menemui permasalahan yang sama.

Baca Juga: Diduga Alami Gangguan Jiwa, Berikut Kronologis Pelemparan Bom Molotov di Masjid Cengkareng

"Misalnya begini Jasa Marga tentu melalui anak perusahaan yang membangun jalan tol karena setiap mau membangun jalan tol itu selalu membentuk perusahaan baru membebaskan lahan untuk dibuat jalan tol," kata Refly Harun, dikutip Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari kanal Youtube Refly Harun pada Senin, 28 Desember 2020.

Refly menambahkan kalau sekarang ini pembebasan lahan tidak seperti zaman order baru yang main rampas. Akan tetapi lebih mengedepankan negosiasi.

"Kalau tidak setuju titip uang konsiliasi ke pengadilan, baru kemudian bisa dieksekusi tanahnya. Dalam beberapa kasus, pihak Jasa Marga misalnya sudah memberikan ganti rugi kepada pemilik tanah," ucapnya.

Refly menuturkan ketika tanah yang sudah dibebaskan tiba-tiba ada pihak yang mengklaim bahwa tanah itu miliknya, maka pengadilan sudah seharusnya melihat bahwa pihak Jasa Marga sudah beritikad baik.

Baca Juga: Beberapa Penyintas Covid-19 Sebut Indera Penciuman Terganggu: Mengurangi Kenikmatan Makan Saya

Dimana melalui anak perusahaannya untuk membeli tanah itu dari pihak yang sah berdasarkan sertifikat dan bukti kepemilikan.

Jadi apabila ada putusan lain yang menyatakan tanah yang dibeli adalah milik A dan bukan B, yang seharusnya mengganti rugi adalah pihak A, bukan Jasa Marga.

Karena Jasa Marga merupakan pihak yang beritikad baik membeli tanah tersebut dengan jalan yang sah.

"Sama logikanya seperti PTPN VIII ini, kalau PTPN VIII merasa bahwa tanah yang ada di lokasi pesantren Habib Rizieq adalah tanah mereka maka dua hal yang harus dilakukan," ujar Refly.

Hal yang pertama adalah adanya bekal keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, yang juga menyatakan bahwa tanah itu benar adanya milik mereka.

Baca Juga: Tanggapi Rumor Kencan, Taeyeon Girls Generation Pilih Unggah Sebuah Meme

Sementara yang kedua adalah, yang harus memberikan ganti rugi atas tanah dari PTPN VIII bukan Habib Rizieq atau pesantrennya tetapi pihak yang menjual itu kepada Habib Rizieq.

"Jadi bukan Habib Rizieqnya yang diklaim atau tanahnya yang dirampas kembali, tetapi ganti rugi ditujukkan kepada pihak-pihak yang menjual tanah tersebut," katanya.

Akan tetapi, Refly menguraikan, sekali lagi hal itu harus berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.  

Pengadilan juga harus memahami bahwa tanah yang telah ditelantarkan selama 25 tahun dan tidak dikuasai secara fisik, maka menjadikan pihak PTPN bisa kehilangan tanah tersebut.

Karena dengan adanya penelantaran berarti ada indikasi untuk menghindari kewajiban.

Baca Juga: Negara Lain Saling Meniru Soal Teknologi, Budiman Sudjatmiko: Mana yang Mau Ditiru Indonesia?

"Makanya menurut Maiyasyak Johan PTPN bisa dituntut balik sebagai pihak yang menelantarkan tanah dan melaksanakan kewajibannya atas tanah untuk mengupayakan dan mengusahakan tanah tersebut sesuai dengan izin HGU yang diberikan yaitu Hak Guna Usaha," ujar Refly.

Bahkan, dia melanjutkan, apabila HGU itu diperoleh dengan membayar justru ada potensi yang mengarah ke kerugian negara.

"Tanah itu tidak dikuasai dengan baik, ditelantarkan, diupayakan orang lain, orang lain kemudian menjualnya kepada orang yang beritikad baik," katanya.

Maka dalam konteks dan kondisi seperti itu tidak bisa mengatakan pihak pesantren HRS sebagai pihak yang mencuri atau mengambil tanah.

Baca Juga: Lakukan Tes DNA, Pihak Berwenang AS Konfirmasi Pelaku Pengeboman Kota Nashville

"Kecuali kalau proses peralihannya itu proses yang diam-diam dan tidak legal. Tetapi ini adalah proses yang dilegalkan oleh birokrasi setempat mulai dari RT, RW, Bupati, dan Gubernur," ujar Refly Harun.***

 

Editor: Tita Salsabila

Tags

Terkini

Terpopuler