Peneliti dari Universitas Stanford Tingkatkan Kesehatan Desa dan Masyarakat Adat Dekat Hutan Kalbar

- 27 Oktober 2020, 15:56 WIB
Ilustrasi masyarakat desa dekat hutan, Pexels/Snapwire
Ilustrasi masyarakat desa dekat hutan, Pexels/Snapwire /

PR CIREBON - Menawarkan perawatan kesehatan yang terjangkau bagi penduduk desa dan masyarakat adat yang tinggal di dekat hutan dapat membantu mengurangi pembalakan liar dan melawan perubahan iklim, kata para peneliti pada hari Senin, 26 Oktober 2020.

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh Universitas Stanford menganalisis sebuah klinik yang menyediakan layanan semacam itu, yang didirikan oleh dua lembaga nonprofit yang berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat di bagian Pulau Kalimantan, Indonesia, selama periode 2009 hingga 2019.

Dengan menggunakan citra satelit tutupan hutan dan lebih dari 10 tahun catatan pasien, para peneliti mengaitkan program kesehatan dengan penurunan deforestasi sebesar 70 persen dibandingkan dengan taman nasional Indonesia lainnya, setara dengan melindungi lebih dari 27 km persegi (10 mil persegi) hutan.

Baca Juga: Kutuk Keras Kartun Nabi, Sekjen Liga Muslim: Kami Menentang Akibat Penyebaran Kebencian dan Rasisme

Rekan penulis studi Susanne Sokolow, seorang ilmuwan di Stanford Woods Institute for the Environment, mengatakan para peneliti telah mengamati penurunan yang kuat dalam tingkat kehilangan hutan.

“Yang penting, kami juga menemukan bahwa semakin banyak desa yang terlibat dalam hal berapa kali mereka mengunjungi klinik atau berpartisipasi dalam program konservasi, semakin besar dampak yang kami lihat,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation.

Penurunan terbesar dalam penebangan terjadi di sebelah desa-desa yang paling banyak menggunakan klinik, kata para peneliti.

Baca Juga: Oknum ASN Penilep Uang Infak Masjid di Sumbar Jalani Sidang Perdana, Kerugian Mencapai Rp1,7 Miliar

Secara global, sekitar 35 persen kawasan alam yang dilindungi secara tradisional dimiliki, dikelola, digunakan atau ditempati oleh masyarakat adat dan lokal, namun mereka jarang dipertimbangkan dalam rancangan program konservasi dan iklim, menurut Stanford.

Mencari solusi, organisasi nirlaba lingkungan yang berbasis di Indonesia Alam Sehat Lestari (ASRI) dan Health In Harmony yang berbasis di AS pertama-tama bertanya kepada masyarakat lokal dan menemukan bahwa alasan utama mengapa mereka menebang pohon adalah untuk membayar perawatan kesehatan.

Dengan informasi ini, mereka mendirikan klinik terjangkau pada tahun 2007, melayani ribuan pasien dengan menerima berbagai pembayaran alternatif, seperti bibit pohon, kerajinan tangan, pupuk kandang dan tenaga kerja, sebuah sistem yang dibuat bersama masyarakat.

Baca Juga: Sebarkan Hoaks, Tiga Pendiri Sunda Empire Divonis Dua Tahun Penjara

Melalui kesepakatan yang dibuat dengan para bupati, klinik tersebut juga memberikan diskon kepada desa-desa yang dapat menunjukkan bukti pengurangan penebangan liar.

Selain itu, ia menawarkan pelatihan tentang pertanian organik yang berkelanjutan dan skema pembelian kembali gergaji mesin. Dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Reuters.

Studi yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, mengatakan penurunan deforestasi sebesar 70 persen, setara dengan penghindaran kehilangan karbon yang diperkirakan bernilai lebih dari Rp 955 miliar, menggunakan harga pasar karbon Eropa.

Para peneliti juga mengukur penurunan yang signifikan pada penyakit menular dan penyakit lainnya, seperti malaria dan tuberkulosis.

Baca Juga: Risma Berharap Tidak Ada Lagi Anak-anak yang Terlibat dalam Aksi Unjuk Rasa: Mari Kita Jaga Semuanya

Monica Nirmala, direktur eksekutif klinik dari 2014 hingga 2018 dan anggota dewan Health In Harmony, mengatakan data tersebut mendukung dua kesimpulan penting.

“Kesehatan manusia merupakan bagian integral dari konservasi alam dan sebaliknya, dan kita perlu mendengarkan arahan dari komunitas hutan hujan yang paling tahu bagaimana hidup seimbang dengan hutan mereka,” katanya dalam sebuah pernyataan.

Peneliti Stanford bekerja dengan dua organisasi nirlaba untuk meniru pendekatan tersebut dengan komunitas hutan hujan lainnya di Indonesia, Madagaskar dan Brasil.***

Editor: Irma Nurfajri Aunulloh

Sumber: Reuters


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x