Beberapa kali pemerintah menetapkan kebijakan setelah harga minyak goreng begerak "liar" naik mencapai Rp 24.000/lt dari sebelumnya Rp 14.000/lt untuk minyak goreng kemasan.
Parahnya harga minyak goreng curah yang sebelumnya Rp 9.000/lt sesuai HET, juga "anteng", naik mendekati harga minyak goreng kemasan. Sehingga di pasar, harga minyak goreng curah hampir tidak berbeda dengan harga minyak goreng kemasan.
Baca Juga: Lee Joon Gi Melakukan Misi Berbahaya Untuk Menangkap Kartel Narkoba di “Again My Life”
Kalangan industri memiliki alasan, bahwa harga minyak goreng dunia naik tinggi, dan banyak negara tidak memperoleh minyak nabati setelah AS dan negara-negara Eropa memberikan sanksi kepada Rusia sebagai akibat dari Perang Rusia Ukraina.
Bahkan India, salah satu konsumen terbesar konsumen minyak goreng sawit meningkatkan permintaannya, termasuk beberapa negara Eropa yang mendiversifikasikan konsumsi kepada minyak sawit setelah minyak nabati asal Rusia tidak mengalir ke Uni Eropa.
Dengan dasar itu, harga minyak goreng untuk keperluan domestik dipaksa disamakan dengan harga ekspor atau mendekati harga ekspor. Sampai akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan penetepan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) dengan merubah harga HET.
Baca Juga: Galaxy Z Fold 4 Meningkatkan Tampilan yang Menarik
Yang terjadi suplai minyak ke pasar tetap seret dan masyarakat susah mendapatkannya, bahkan di beberapa lokasi dan daerah tertentu terlihat spot antrian panjang.
Tudingan sinis dan negatif dialamatkan banyak pihak kepada kalangan pemerintah bahwa Departemen Perdagangan tidak berdaya menghadapi mafia minyak goreng dan negara "didikte" oleh kalangan industri minyak goreng.
Tudingan itu dikaitkan kepada issue sensitif yang menyangkut aspek politis kekuasaan Presiden Jokowi dan para anggota kabinet disekitarnya yang "kekeuh" untuk melaksanakan penundaan Pemilu.