“Kasus ini sangat penting karena kita sudah tahu bahwa menghirup udara bersih adalah hak kita sebagai manusia,” kata Bondan Andriyanu, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia.
“Pencemaran udara pada skala saat ini jelas melanggar hak atas hidup dan kesehatan, hak anak dan hak untuk hidup dalam lingkungan yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan.
Perspektif hak asasi manusia ini mengubah segalanya karena pemerintah kemudian memiliki kewajiban yang jelas dan dapat ditegakkan secara hukum untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia (warga negara),” jelasnya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2016, polusi udara luar ruangan (polusi udara ambien) diperkirakan menyebabkan 4,2 juta kematian dini secara global.
91 persen di antaranya terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan jumlah kematian terbesar di dunia. kematian seperti itu terjadi di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat WHO.
Standar WHO untuk kualitas udara ambien tahunan adalah 10 mikrogram partikel halus per meter kubik udara, sedangkan standar nasional Indonesia adalah 15 mikrogram.
Namun Bondan mengatakan data resmi terkait partikel halus, yang dikenal sebagai PM2.5, diterima Greenpeace dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mulai 2020 atau tahun ketika pandemi Covid-19 membuat jumlah lalu lintas berkurang dalam beberapa bulan.
“Jika kita membandingkan standar kualitas udara ambien nasional kita dengan standar WHO kita masih jauh tertinggal. Bahkan selama pandemi, data tahunan PM 2.5 di Jakarta berada di atas baku mutu udara ambien nasional,” ujarnya.