UU Cipta Kerja Dinilai Cacat Hukum, KRPI Siap Tempuh Jalur Perlawanan Judicial Review

7 Oktober 2020, 06:00 WIB
Unjuk Rasa para buruh Tolak Omnibus Law./Instagram.com/@infojakrtacom /

PR CIREBON - Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) menilai Undang-Undang Cipta Kerja cacat secara formil dan cacat materiil.

Sekertaris Jenderal DPP KRPI, Saepul Tavip menyatakan, sejak awal rencana pembuatan UU Cipta Kerja hingga disahkan, UU ini memang penuh kontroversi di tengah masyarakat.

Hingga klaster ketenagakerjaan yang terakhir dibahas, masih menuai penolakan keras dari kalangan Serikat Pekerja.

Baca Juga: Banyak Buruh Penolak Omnibus Law Tak Tahu, Simak 3 Hoaks Sengaja Ubah Isi UU Cipta Kerja

"Dari sisi formil, sejak diumumkan Presiden tentang rencana pembuatan UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law, Pemerintah tidak terbuka untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan RUU Cipta Kerja tersebut," katanya dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Selasa, 6 Oktober 2020, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari RRI.

"Pemerintah hanya melibatkan kalangan pengusaha untuk membuat draft RUU Cipta Kerja ini, hingga diserahkan ke DPR," katanya.

Padahal Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan suatu UU, namun dalam kenyataannya, pembahasan RUU Cipta Kerja, masyarakat tidak dilibatkan.

Baca Juga: Kabar Baik dari Kabupaten Cirebon, Dinkes: 10 Kecamatan Masuk Zona Hijau, Diharapkan Bisa Bertahan

"Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan suatu UU. Oleh karenanya Pemerintah dan DPR harus melibatkan masyarakat dalam pembuatan UU Cipta Kerja namun dalam pelaksanaannya masyarakat tidak dilibatkan," katanya.

Tak hanya itu, sejumlah pasal yang sudah disepakati di tingkat Panja ternyata berbeda hasil dengan isi pasal UU Cipta Kerja yang disahkan. Misal, Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing).

Dalam pembahasan RUU Cipker di tingkat Panja, telah disepakati untuk kembali ke UU 13/2003. Tapi di UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu berbeda dengan isi kesepakatan Panja.  

Baca Juga: Hukuman Koruptor Selalu Dapat Pengurangan, KPK: Pengajuan PK Seperti Strategi Baru Lolos Penjara

"Sehingga terindikasi ada pihak yang sengaja membelokkan poin-poin kesepakatan Panja," katanya.

Sementara sari sisi materiil, UU Cipta Kerja sarat dengan semangat fleksibilitas yang memastikan penurunan perlindungan terhadap pekerja.

Dihapuskannya syarat PKWT maksimal 3 tahun dan sekali perpanjangan PKWT, dan dibebaskannya outsourcing akan memastikan semakin banyak pekerja yang diperlakukan dengan sistem PKWT dan outsourcing.

Baca Juga: Kabar Baik dari Cagar Alam: Orangutan di Pusat Reintroduksi Jantho Aceh Melahirkan

Seperti kita ketahui bersama pekerja PKWT dan outsourcing adalah pekerja yang rentan dilanggar hak-hak normatifnya seperti upah minimum (termasuk upah lembur) dan jaminan sosial. Dalam UU Cipker, upah minimum provinsi menjadi wajib ditetapkan oleh Gubernur, sementara upah minimum kabupaten/kota menjadi tidak wajib (menggunakan kata dapat).

Hal ini akan mereduksi nilai upah sehingga mengancam penurunan kesejahteraan dan daya beli pekerja.

Prosedur dan mekanisme PHK yang lebih dilonggarkan serta kompensasi PHK yang direduksi dengan dihilangkannya ketentuan 15 persen uang penggantian hak, dihapuskannya ketentuan tentang alasan dan perhitungan kompensasi PHK di berbagai pasal di UU No. 13 Tahun 2003 yang akan diatur di dalam Perturan Pemerintah (PP) merupakan bagian dari proses menurunkan tingkat perlindungan pekerja ketika mengalami PHK.

Baca Juga: Antisipasi Buruh Mogok Nasional, Simak 11 Isi Telegram Rahasia Kapolri untuk Keselamatan Masyarakat

Easy hiring, easy firing sangat terasa dalam UU ini.Demikian juga dengan dipermudahnya penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), jam kerja yang lebih fleksibel serta Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan menurunkan imbal hasil JHT buruh, adalah bagian dari penurunan kesejahteraan buruh dan keluarganya.

UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa hak rakyat adalah mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta hak mendapatkan jaminan sosial.

"Sehingga seluruh ketentuan material UU Cipta Kerja merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional rakyat pekerja/buruh dan keluarganya," katanya.

Baca Juga: Kisah Sukses Leonardo Del Vecchio, Billionaire yang Hidup dari Panti Asuhan

Dari uraian tersebut, maka KRPI akan menempuh jalur perlawanan berikutnya yakni dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak seluruh isi klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja.

Hal ini sebagai bentuk pembelaan terhadap masa depan rakyat pekerja Indonesia beserta keluarganya.

"KRPI pun berharap seluruh komponen gerakan Serikat Pekerja di Indonesia untuk bahu membahu, kompak menolak UU Cipta Kerja yang sangat merugikan rakyat pekerja ini dengan tetap menjaga keselamatan pekerja dari bahaya Covid-19," pungkas Saepul Tavip. ***

 

Editor: Nur Annisa

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler