Tolak RUU Cipta Kerja Dijadikan UU, PKS: Semestinya Disikapi dengan Kecermatan dan Kehati-hatian

4 Oktober 2020, 12:27 WIB
Ledia Hanifa Amaliah anggota Baleg DPR-RI Fraksi PKS (foto-Antara) /

PR CIREBON – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menolak penetapan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada pengambilan keputusan tingkat I melalui hasil pembahasan RUU tentang Cipta Kerja oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Sabtu 03 Oktober 2020.

“Berdasarkan berbagai pertimbangan yang kami sampaikan, Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang,” ujar anggota Baleg DPR RI FPKS Ledia Hanifa Amaliah dalam Rapat Kerja Baleg DPR RI, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara.

Ledia Hanifa menuturkan, PKS menyadari substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Ciptaker memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia.

Baca Juga: Bermain di Curug Jagapati Garut, Ridwan Kamil Menikmati Keindahan Alam Jabar

Oleh karena itu, Ledia menilai diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam, apakah aspek formil dan materil dari Undang-Undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang disepakati bersama.

Dia menjelaskan ada beberapa catatan yang PKS DPR RI berikan terkait RUU Ciptaker, pertama FPKS memandang pembahasan RUU itu pada masa pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, dan penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.

“Kedua, banyaknya materi muatan dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal Undang-Undang ini akan memberikan dampak yang sangat luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini,” ujarnya.

Baca Juga: Tolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law, Demokrat: RUU Ciptaker Kurang Transparan dan Akuntabel

Kemudian, yang ketiga yaitu FPKS memandang RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak cocok dalam menyusun “resep” meskipun yang sering disebut adalah soal investasi.

“Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha,” tuturnya.

Ledia menilai pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukan masalah-masalah uatam yang selama ini menjadi penghambat dalam investasi misalnya ketidaktepatan itu ialah formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan analisa yang komprehensif.

Baca Juga: Tetap buka Restoran di Masa Pandemi, Bon Jovi: Lakukan Apa Yang Kamu Bisa

Keempat, menurutnya secara substansi sejumlah ketentua dalam RUU tersebut masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati pasca-amandemen konstitusi.

Dirinya menjelaskan ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Ciptaker adalah ancaman terhadap kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak asing.

Ledia meniali RUU Ciptaker memuat aturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup misalnya dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihilangkan.

Baca Juga: Ditolak PKS dan Partai Demokrat, Tujuh Fraksi Telah Setujui RUU Cipta Kerja Omnibus Law

Menurut dia, RUU itu juga memberikan kewenangan yang sangat besar bagi pemerintah namun kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan menciptakan sistem pengawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratifnya.

“Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan kita RUU Cipta Kerja memuat subtansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap tenaga kerja atau buruh melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah dan pesangon.

“Seyogianya apabila pemerintah bermaksud untuk mempermudah perizinan maka sistem pengenaan sanksinya harus lebih ketat dengan mengembangkan sistem peradilan administasi yang modern,” pungkasnya.***

Editor: Nur Annisa

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler