Sebut Regulasi Lemah, DPR dan DFW Minta Pemerintah Maksimalkan Perlindungan ABK

23 Januari 2021, 11:49 WIB
Ilustrasi Kapal /pixabay/Valentin Schönpos

PR CIREBON – Anggota Komisi IV DPR RI Slamet meminta pemerintah agar memaksimalkan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja sebagai ABK di luar negeri atau pada kapal ikan asing.

Menurut Slamet, pemenuhan hak asasi manusia (HAM) bagi nelayan, khususnya ABK di kapal asing, masih lemah.

"Kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing saat ini masih lemah," ucap Slamet, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara.

Baca Juga: Terima Kunjungan DPR RI Komisi X Ferdiansyah, Wakil Wali Kota Cirebon Bahas Perpustakaan

Slamet menilai, lemahnya perlindungan terhadap ABK di Indonesia merupakan dampak dari regulasi yang berlaku saat ini.

Regulasi itu masih bersifat parsial, menurut Slamet, hal itu belum mengatur proses penempatan ABK asal Indonesia dari hulu ke hilir.

Karena itulah, Slamet mengatakan bahwa regulasi yang sudah ada patut untuk dicermati dengan seksama.

Baca Juga: Mengejutkan, Anggota Parlemen Republik Membawa Pistol saat Menghadiri Kongres

“Keberadaan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di atas kapal perikanan asing selama ini telah memberikan manfaat yang banyak secara ekonomi,” sambung Slamet.

Namun, masih banyak kasus ABK yang menjurus kepada praktik kerja paksa atau perbudakan dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

“Saya meminta untuk adanya tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku TPPO ataupun pelaku perbudakan nelayan di atas kapal. Sehingga dapat memberikan efek jera bagi para pelaku,” lanjutnya.

Baca Juga: Baru Menikah, Mempelai Pria Justru Ditembak Mati di Rusia

Slamet juga meminta pemerintah untuk melakukan pemetaan terhadap perlindungan ABK di luar negeri.

Sementara itu, Destructive Fishing Watch (DFW) sebagai pengelola Fishers Center menerima 40 pengaduan korban awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal ikan dalam dan luar negeri dalam periode Januari-Desember 2020.

"Saat ini mayoritas pengaduan dilakukan oleh mereka yang bekerja di kapal ikan luar negeri atau pekerja perikanan migran," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan.

Baca Juga: Fokus Agenda Legislatif Biden, Sidang Pemakzulan Trump Ditunda Dua Minggu

Abdi Suhufan mengungkapkan, dari 40 pengaduan tersebut, tercatat 103 korban awak kapal perikanan yang terjebak dalam praktik kerja yang tidak adil dan merugikan.

Ia memaparkan, Fisher Center merupakan bagian dari mekanisme proteksi berbasis masyarakat yang memberikan informasi, edukasi, dan menerima pelaporan atau keluhan terkait para awak kapal perikanan (AKP).

Fisher Center yang merupakan hasil dari Proyek SAFE Seas telah beroperasi di Kota Tegal, Jawa Tengah, dan Kota Bitung, Sulawesi Utara, dan telah diresmikan Menteri Kelautan dan Perikanan, 7 Juli 2020.

Baca Juga: Singapura Lanjutkan Tahap Vaksinasi Covid-19 Pada Lansia dan Perketat Pembatasan Sosial

"Fisher Center menjadi semacam lembaga alternatif pengaduan awak kapal perikanan yang bermasalah sebab saluran pengaduan ke pemerintah cukup banyak dengan layanan yang berbeda-beda," jelasnya.

Menurut Abdi, Fisher Center membantu korban dan pemerintah agar laporan yang disampaikan sudah terstandarisasi sehingga memudahkan tindaklanjut penyelesaian kasus.

Data pengaduan dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) terkait pengaduan awak kapal selama tahun 2018 sampai Mei 2020 menyatakan bahwa ada lima jenis pengaduan terbesar dari 398 aduan.

Baca Juga: Video Seorang Ayah Teriak Panggil Nama Dua Anaknya usai Serangan Bom Bunuh Diri di Baghdad

Di antara jumlah tersebut, ada 164 kasus terkait gaji yang tidak dibayar, 47 kasus ABK meninggal dunia di negara tujuan.

Ada pula 46 kasus terkait kecelakaan, 23 kasus terkait ABK ingin dipulangkan dan 18 kasus terkait penahanan paspor atau dokumen lainnya oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (P3MI).***

Editor: Tyas Siti Gantina

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler