Soal Hukuman Mati untuk Tindak Korupsi di Masa Pandemi Covid-19, Pakar Hukum: Sebagai Warning

23 Desember 2020, 07:47 WIB
KPK.* /ANTARA/Bernardy Ferdiansyah.

PR CIREBON – Tertangkapnya eks Menteri Sosial, Juliari Batubara sebagai tersangka tindak pidana korupsi dana bantuan sosial menimbulkan respon yang berbeda.

Pasalnya, tindakan korupsi yang dilakukan eks Menteri Sosial  Juliari Batubara dinilai sangat tidak etis dan sangat tidak beradab.

Sebab, eks Menteri Sosial Juliari Batubara berani merampok uang masyarakat yang sedang kesusahan di masa pandemi virus corona atau Covid-19.

Baca Juga: Niat Bercandaan dengan Gibran Malah Dituduh Bela Isu Korupsi, Kaesang Geram: Nggak Ada Hubungannya 

Atas hal tersebut banyak rakyat yang menuntut agar pelaku korupsi dana Bansos dihukum dengan ancaman pidana mati.

Beberapa waktu lalu, muncul wacana pemberian hukuman mati pada sang tersangka korupsi.

Hal ini disepakati pula oleh sejumlah pakar hukum yang menganggap bahwa pidana mati perlu diterapkan agar menjadi warning bagi pelaku korupsi lainnya.

Baca Juga: Update Foto Bersama 3 Calon Menteri Baru, dr. Tirta Berharap Bisa Bersama Atasi Pandemi Covid-19 

Salah satu pakar yang mengatakan demikian ialah Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Prof Hibnu Nugroho yang menilai ancaman hukuman mati merupakan peringatan bagi koruptor.

 "Saya kira kita sepakat, kita bukan lihat suapnya ya, tapi melihat korupsi dalam masa pandemi," katanya yang dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara

"Apalagi yang dilakukan adalah (korupsi terhadap) bantuan untuk mencegah pandemi," imbuhnya.

Baca Juga: Jokowi Reshuffle 6 Menteri, Muannas Alaidid: Saya Senang Melihat Tokoh Bangsa Bekerja Sama 

Hibnu mengatakan dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.

"Saya kira untuk hukuman mati itu sebagai 'warning' dan secara yuridis memang sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," terang Hibnu.

Oleh karena itu, kata dia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku penegak hukum harus selangkah seperti yang disampaikan selama ini, yakni melakukan penuntutan terhadap kasus dugaan korupsi tersebut dengan pidana mati.

Baca Juga: Dianggap Sering Kritik Sana Sini, dr. Tirta Buka Suara: Kritikan Itu Bagian Demokrasi, Bukan Oposisi 

Walaupun nantinya kasus dugaan korupsi tersebut tidak terbukti di pengadilan, Hibnu berujar KPK harus melakukan dakwaan dengan pidana mati sebagai bentuk komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

"Diputusnya nanti terserah hakim, tapi sebagai komitmen, sebagai bentuk 'warning' kepada masyarakat untuk tidak melakukan korupsi, harus dituntut dengan pidana mati," katanya menegaskan.

Kemudian, Hibnu juga mengatakan dalam teori ada 30 jenis korupsi dan selanjutnya jika diringkas kembali ada tujuh kelompok tindak pidana korupsi.

Baca Juga: Gus Yaqut: Saya Ingin Jadikan Agama sebagai Inspirasi, Tidak Lagi Menjadi Alat Politik  

Akan tetapi, dalam kasus korupsi bansos Covid-19, Hibnu berpendapat harus melihat tindak pidana korupsi dalam arti luas.

"Jangan melihat suapnya. Suapnya boleh (dilihat) tapi suapnya ini suap dalam era pandemi. Perdebatannya kemarin kan ini hanya suap. Oke, kalau suap bukan dalam era pandemi enggak apa-apa, tapi suap ini dalam masa pandemi," ujarnya.

Terkait dengan hal itu, Hibnu meminta penegak hukum harus konsisten terhadap undang-undang yang menentukan demikian, yakni dapat menuntut pidana mati.

Baca Juga: Mengejutkan, Permainan Superseed di Facebook Sudah Prediksi Gus Yaqut Sebagai Menteri Agama 

"Apalagi dugaan tindak pidana korupsi itu dilakukan oleh pejabat negara. Itu sebagai faktor pemberat. Makanya ini sebagai ujian bagi penegak hukum, ujian bagi pemerintah, berani atau tidak," tegasnya.

Lebih lanjut, Hibnu mengungkapkan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap dua orang menteri dalam satu bulan terakhir merupakan tindakan biasa.

"Kita melihatnya kan subjek orang, siapa pun, kebetulan ini yang terlihat adalah menteri karena hukum itu bisa kecil, bisa besar," ucapnya.

Baca Juga: Sandiaga Uno Masuk Kabinet, Gus Umar: Ngapain Habiskan Triliunan Duit Rakyat di Pilpres

"Kemarin kalau kita lihat dalam paparan Ketua KPK kan ada 400-an izin OTT, sehingga harus dilihat langkah tepat yang dilakukan KPK pada pucuk-pucuk sebagai penyelenggara negara," sambung Hibnu.

Dengan demikian, ketika menteri tersebut kena OTT akan memberikan peringatan (warning) kepada pelaku yang akan berpotensi di tingkat bawahnya.

"Yang tingkat besar, menteri saja bisa dipegang, apalagi yang setingkat gubernur, kepala dinas, atau yang lain," tuturnya.

Ini yang saya kira suatu cara pencegahan yang cukup bagus karena bagaimanapun juga yang namanya penindakan berselaras dengan pencegahan yang akan dilakukan di kemudian hari," pungkas Hibnu.***

Editor: Asri Sulistyowati

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler