Di Tengah Politik Identitas yang Menguat, Survei Buktikan Masyarakat Pilih Pertahankan NKRI

26 November 2020, 13:14 WIB
Ilustrasi bendera Indonesia. /Pixabay/ANDREAS_DANANG_A Area lampiran /
PR CIREBON - Politik identitas yang dikabarkan menguat baru-baru ini sejak pendeklarasian Partai Masyumi dan pembentukan Partai Ummat mengundang kekhawatiran tersendiri bagi partai-partai Nasionalis.
 
Kembalinya Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi juga membangkitkan pula kekhawatiran soal ancaman terhadap NKRI.
 
Pasalnya, selama ini Rizieq gencar menyuarakan penegakan syariat Islam melalui aksi-aksi "sweeping", hingga transformasi dalam gerakan politik pada Pilkada DKI Jakarta yang sangat kental nuansa politik identitas atau SARA.
 
Baca Juga: Nekat Lewati Kawat Berduri Setinggi 3000 Meter, Pesenam Korea Utara Menyeberang ke Selatan
 
Namun ternyata, hasil survey masih menunjukkan partai nasionalis lebih unggul lantaran publik lebih setuju untuk mempertahankan NKRI ketimbang Negara dengan bentuk lain.
 
Survei yang dilakukan Center for Political Communication Studies (CPCS) menunjukkan publik lebih setuju untuk pertahankan NKRI, yakni mencapai 81,5 persen.
 
"Hampir mayoritas mutlak publik menyatakan siap untuk mempertahankan tegaknya NKRI dan menolak wacana agar Indonesia menerapkan agama sebagai dasar kehidupan bernegara," kata Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta SK, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara News.
 
Baca Juga: Pasca Edhy Prabowo Ditetapkan Tersangka, Presiden Tunjuk Luhut Sebagai Menteri KKP Ad Interim
 
Survei menyebutkan hanya sebagian kecil yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama, yakni sebesar 13,3 persen. Sisanya 5,2 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab.
 
Sejak berdirinya Republik Indonesia, kata dia, para "founding fathers" menyusun konsensus Pancasila sebagai dasar negara kesatuan di tengah kebinnekaan masyarakat Indonesia.
 
Bagi kalangan nasionalis, Pancasila adalah ideologi yang sudah final, sebagai titik kompromi dari keberagaman. 
 
Mengubah Pancasila dan NKRI berarti berpotensi memecah-belah bangsa Indonesia.
 
Baca Juga: Reuni 212 Dilarang Karena Ciptakan Kerumunan Massa, Akademisi: Aturan Ditegakkan Tanpa Pandang Bulu
 
Namun, dalam beberapa kurun waktu belakangan gejolak politik identitas seakan-akan mengancam kesepakatan bangsa tersebut.
 
Lahirnya perda-perda bernuansa keagamaan hingga munculnya paham khilafah menimbulkan resistensi dan menguatkan kembali semangat untuk mempertahankan Pancasila dan NKRI.
 
"Menguatnya politik identitas itu memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019, yang nyaris membelah masyarakat dalam polarisasi yang belum usai hingga sekarang," kata Okta.
 
Namun, kuatnya dukungan publik terhadap NKRI dan penolakan terhadap negara agama menjadi sinyal optimisme.
 
Baca Juga: Meksiko Tangkap Dalang dari Pembantaian Wanita dan Anak-anak Mormon
 
Para elite politik dan tokoh bangsa diharapkan untuk terus menjaga komitmen dan tidak latah memainkan politik identitas demi kepentingan elektoral.
 
"Keberagaman memang menjadi fitrah bangsa ini, karena itu bangsa kita memilih untuk bersatu alih-alih bercerai-berai," ujarnya.
 
Survei CPCS dilakukan pada 11-20 November 2020, dengan jumlah responden 1.200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia.
 
Survei dilakukan melalui sambungan telepon terhadap responden yang dipilih secara acak dari survei sebelumnya sejak 2019. Margin of error survei sebesar ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen.***
Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Antara News

Tags

Terkini

Terpopuler