"Akan sulit untuk melakukannya kepada lebih dari satu juta anak sekolah yang kembali ke lembaga pendidikan mereka untuk memastikan satu siswa duduk pada jarak dua meter dari yang lain. Itu adalah fiksi dan berbahaya," ujar Einat Meron.
Meron juga menambahkan, ide perdana menteri secara teoritis cukup baik, namun meskipun microchip yang peka jarak seperti itu ada dalam kendaraan, itu berbeda pada manusia.
Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Jalan Tol Cisumdawu adalah Jalan Tol Terkeren di Indonesia? Ini Faktanya
"Bunyi bip memberitahu saya bahwa saya dekat dengan seseorang tidak cukup. Siapa bilang itu akan mengubah apa pun? Saya justru akan semakin dekat," ujarnya.
Meron mengungkapkan bahwa masalah sebenarnya adalah penegakkan keamanan yang harus ditingkatkan.
Mirip dengan gagasan Meron bahwa memberitahukan warga tentang jarak mereka tidak akan mempengaruhi tindakan mereka, banyak yang khawatir negara akan menggunakan informasi yang tersedia.
Baca Juga: Prancis Ajukan 'Amandemen Kekasih' agar Pasangan Bisa Bertemu setelah Kelonggaran Lockdown
"Jika informasi dengan lokasi anak-anak diunggah ke internet, seorang pedofil dengan pengetahuan dunia maya dapat menyerang sistem dan membuntuti mereka di luar sekolah mereka, ikuti mereka dan distribusikan informasi itu di platform lain," ujar Meron.
Meron pun mempertanyakan apakah negara bisa bertanggung jawab dengan segala kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari.
Menanggapi hal itu, Kantor Perdana Menteri ikut buka suara dengan mengungkapkan bahwa informasi dari sensor nantinya tidak akan melalui basis data, namun berasal dari teknologi sederhana yang dapat memberi tahu warga tentang jarak.