Tetapi bagi banyak orang yang masih berjuang, revolusi harus melangkah lebih jauh dari gerakan yang dipimpin oleh peraih Nobel beberapa dekade yang lalu, dan secara permanen membasmi dominasi militer dalam politik dan ekonomi negara itu.
"Kami mogok bukan karena NLD, tetapi karena kami tidak ingin generasi berikutnya hidup di bawah militer seperti yang sekarang terjadi," kata seorang dokter berusia 33 tahun yang dipecat, dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari Channel News Asia.
Demonstrasi yang diselenggarakan di media sosial dan adopsi penghormatan pro-demokrasi dengan tiga jari menunjukkan bahwa para aktivis muda Myanmar memiliki lebih banyak kesamaan dengan orang-orang di Hong Kong dan Thailand.
Aung San Suu Kyi masih dihormati dan dicintai dari banyak orang di Myanmar, kata Manny Maung, seorang peneliti di Human Rights Watch, tetapi lebih sebagai tokoh sejarah.
“Kampanye demokrasi tidak lagi menginginkan ikon,” ujarnya.
Baca Juga: Mengenal KIPI, Reaksi Tubuh Pasca Vaksinasi Covid-19 dan Penanganannya
"Mereka memiliki pendekatan kekuasaan yang jauh lebih terdesentralisasi dan ingin melihat munculnya kekuatan politik yang beragam," jelasnya.
Beberapa juga menghindari tidak adanya kekerasan, prinsip inti dari Aung San Suu Kyi.
Ratusan diyakini telah berjalan kaki ke daerah hutan untuk menerima pelatihan tempur dari kelompok pemberontak veteran, dengan harapan kembali untuk melawan militer.