Kreatif! Seniman Myanmar Lakukan Aksi Protes Kudeta dengan Pertunjukan Karya Seni

17 Februari 2021, 11:00 WIB
Aksi protes yang diproyeksikan di sebuah gedung pada malam protes menentang kudeta militer dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, di Yangon, Myanmar, 9 Februari 2021.* //REUTERS / Stringer/

PR CIREBON- Sejumlah seniman di Myanmar, beberapa hari lalu melakukan aksi protes dengan cara yang kreatif dan tak biasa.

Mereka memerangi kudeta pemerintahan Myanmar yang dilakukan oleh militer dengan sebuah pertunjukan seni, terlepas dari ancaman UU Keamanan siber baru yang kejam.

Khine, seorang seniman yang tinggal di Yangon Myanmar, saat ini lebih suka membuat lukisan adegan khayalan.

Baca Juga: Blak-blakan Ngaku Alami KDRT, Nindy Ayunda Sebut Dirinya Pernah Bonyok sampai Rambut Rontok Usai Dihajar Suami

Namun, sejak adanya kudeta militer Myanmar yang terjadi pada 1 Februari lalu, dia membuat sesuatu yang berbeda: "kontra-propaganda".

Postingan dan stiker yang dimaksudkan untuk menginspirasi pembangkangan sipil dan mengkritik junta militer.

“Apa yang saya dan seniman lain buat saat ini bukanlah seni,” kata Khine, yang memberikan nama samaran karena takut akan keselamatannya.

Baca Juga: Kembali Dilanda Wabah Ebola, Guinea Sebut Miliki Kemampuan untuk Hentikan Penyebaran Virus

“Tapi itulah waktu yang dibutuhkan, dan itulah yang saya rasakan saat ini," sambungnya, seperti dikutip Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari TIME.

Khine, yang berusia pertengahan 20-an itu, adalah bagian dari komunitas seniman yang berbasis di Yangon, kota terbesar di Myanmar.

Sejak peristiwa kudeta, mereka mulai menciptakan gambar-gambar yang mencolok dan sering kali menyindir dan menyebarkannya sebagai bagian dari kampanye pembangkangan sipil di media sosial serta keluar di jalanan.

Baca Juga: Baru 11 Bulan Berdiri, Aplikasi Clubhouse Trending, Elon Musk hingga Ronger Stone Telah Bergabung

Gambar-gambar tersebut menampilkan slogan-slogan ironis, ilustrasi lucu para pemimpin militer dan penghormatan tiga jari yang dipopulerkan selama protes pro-demokrasi tahun lalu di Thailand.

Khine mengatakan para seniman menanggapi kudeta dengan kecerdasan dan "energi yang berlimpah".

Karya Khine dan rekan-rekan senimannya menunjukkan betapa gerakan protes telah berubah dari bentrokan jalanan tahun 2007 dan 1988.

Baca Juga: Khawatirkan Transparansi Laporan WHO, PM Inggris Boris Johnson Sebut Perlunya Perjanjian Global Pandemi

Hal itu terjadi ketika Myanmar sebagian besar terisolasi dari seluruh dunia oleh puluhan tahun pemerintahan militer yang brutal.

Didorong oleh pemuda Burma yang tumbuh dewasa dengan akses internet dan kebebasan komparatif dalam dekade terakhir, gerakan pembangkangan sipil diorganisir secara online, terutama di Facebook, media sosial yang sangat populer di negara tersebut.

Para pengunjuk rasa berbagi gambar di media sosial, dan telah melihat taktik dan slogan gerakan di Hong Kong dan Thailand untuk mendapatkan inspirasi.

Baca Juga: Tolak Keras Wacana Revisi UU ITE, Husin Shihab: Harusnya Masyarakat Bersyukur

Militer menanggapi hal itu dengan melakukan pemadaman internet dan dengan memperkenalkan undang-undang keamanan siber baru yang kejam yang menargetkan penyedia internet dan media sosial.

Tak hanya itu, para pemimpin militer juga mulai menunjukkan bahwa mereka bersedia kembali ke jenis penindasan kekerasan yang menandai protes sebelumnya.

Pada hari Selasa, polisi menembak seorang wanita, dilaporkan dengan amunisi aktif selama demonstrasi di ibu kota Naypyidaw.

Baca Juga: Palestina Sebut Isreal Tahan Pengiriman 2.000 Vaksin Covid-19 ke Jalur Gaza: Otoritas Pendudukan yang Mencegah

Setidaknya ada tiga orang terluka ketika polisi menembakkan peluru karet untuk membubarkan massa dalam protes di tenggara negara itu pada hari Jumat.

Khine mengatakan bahwa dia dan banyak temannya takut kembali ke kendali penindas yang telah menandai sebagian besar sejarah modern Myanmar.

“Tahun ini adalah pertempuran terakhir. Entah kami menang, atau kami tinggal 20 tahun lagi di bawah kediktatoran militer,” tandasnya.***

Editor: Asri Sulistyowati

Sumber: TIME

Tags

Terkini

Terpopuler