Seruan MAKI Jelang Pilkada 2020: Jika Kandidat Kepala Daerah Terlibat Korupsi, Harus Jangan Dipilih

- 17 November 2020, 15:27 WIB
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman. /RRI/
PR CIREBON – Diselenggarakannya Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di tengah pandemi Covid-19 menuai banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan. Walaupun pandemi di Tanah Air masih belum berakhir, pemerintah tetap menyelenggarakan Pilkada dengan melakukan penerapan Protokol Kesehatan yang ketat dengan bantuan pihak aparat kepolisian.

Dari calon-calon kepala daerah yang terdaftar pada pemilihan (Pilkada) serentak 2020 diberitakan bahwa ada beberapa calon yang mempunyai rekam jejak pernah terseret kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Atas adanya calon terdaftar yang mempunyai rekam jejak yang kurang baik, komentar datang dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyerukan masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terlibat kasus korupsi dan gratifikasi, yang saat ini ditangani KPK.
 

Salah seorang Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, yang dihubungi dari Tanjungpinang, Selasa, mengatakan, pilkada seharusnya menyediakan pilihan yang baik kepada masyarakat untuk memajukan daerah.

Akan tetapi yang terjadi di sebagian daerah di Indonesia, termasuk di berbagai daerah di Kepri justru sebaliknya. Orang-orang yang terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi masih berhasrat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Beberapa dari mereka mendapat ruang untuk diusung partai politik sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Regulasi terkait persoalan ini, menurut dia masih perlu diperbaiki untuk mencegah hasil pilkada yang melukai rakyat.
 

Dalam upaya melahirkan pemimpin yang bersih harus dimulai dari proses pilkada yang baik, yang dapat membendung orang-orang yang terlibat kasus korupsi mencalonkan diri.

"Dalam penanganan Covid-19, contohnya, KPU dapat menunda pencalonan politisi yang terkonfirmasi Covid-19. Seharusnya, upaya lainnya, dalam konteks melahirkan pemimpin yang diharapkan masyarakat, dipikirkan juga potensi kerawanannya seperti tidak memberi ruang kepada orang-orang yang terlibat kasus korupsi dan gratifikasi di KPK," ujar aktivis antikorupsi itu, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara News.

Dengan kehadiran pasangan calon kepala daerah yang bermasalah, menurut dia dapat menimbulkan permasalahan bila mereka memenangkan pilkada. Kemudian setelah dilantik, berhadapan dengan kasus hukum.
 

Situasi tersebut tidak hanya memperburuk nama pemerintahan daerah, melainkan bertolak belakang dengan harapan rakyat, yang menginginkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lahir dari pesta demokrasi, tidak terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi.

"Kami memahami, KPU maupun Bawaslu tidak memiliki wewenang untuk menolak calon kepala daerah yang bermasalah hukum sebelum diputuskan pengadilan. Namun sanksi dapat diberikan pemilih dalam pilkada yakni tidak memilih mereka yang tersandera dalam kasus korupsi atau pun gratifikasi di KPK," katanya.

Boyamin Saiman memaparkan bahwa orang-orang yang pernah menjadi napi korupsi dan juga terlibat dalam kasus korupsi berpotensi mengulangi kejahatan yang sama sehingga pemilih sebaiknya tidak memilihnya pada pilkada.

Seluruh calon kepala daerah yang disajikan dalam pilkada untuk dipilih oleh pemilih seharusnya tidak bermasalah. Sebab pilkada menguras anggaran daerah yang sangat besar, sehingga tidak layak kalau masyarakat diberi pilihan kurang baik.
 

Dirinya membeberkan ada sejumlah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tersandera kasus dugaan korupsi dan gratifikasi. Rata-rata kasus itu dugaan korupsi dan gratifikasi itu terjadi ketika mereka menjadi pengusaha dan kepala daerah.

Pada daerah Kepri misalnya, Boyamin mengatakan ada dua calon kepala daerah yang diduga terlibat kasus gratifikasi yakni AW dan AR. AW, Calon bupati Bintan diduga terlibat dalam kasus gratifikasi pemberian ijin usaha pertambangan di Kotawaringin Timur.

Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi, telah ditetapkan sebagai tersangka sejak sembilan bulan lalu karena berdasarkan penyidikan yang dilakukan KPK, diduga merugikan negara sebesar Rp5,8 triliun dan 711.000 dolar Amerika Serikat.
 

Bupati Supian Hadi selama periode 2010-2015 telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT FMA (PT Fajar Mentaya Abadi), PT Bl (PT Billy Indonesia), dan PT AIM (PT Aries Iron Mining) di Kabupaten Kotawaringin Timur periode 2010 2015. Saat itu, AW menjabat sebagai Direktur PT FMA dan PT AIM.

Tidak hanya merugikan negara hingga trilinan rupiah, Hadi juga diduga telah menerima sejumlah pemberian dari izin tersebut, yakni mobil Toyota Land Cruiser senilai Rp 710 juta, mobil Hummer H3 seharga Rp1.350.000.000, dan uang sebesar Rp 500 juta yang diduga diterima meIalui pihak lain.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Antara News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x