Peneliti: Kecaman Jokowi untuk Macron Sekedar Kepentingan Praktis, Tekan Prancis dan Raih Citra Diri

- 16 November 2020, 15:51 WIB
Ribuan pengunjuk rasa dari berbagai ormas yang tergabung dalam Forum Persaudaraan Umat Islam Banten (FPUIB) melakukan aksi demo menentang sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron
Ribuan pengunjuk rasa dari berbagai ormas yang tergabung dalam Forum Persaudaraan Umat Islam Banten (FPUIB) melakukan aksi demo menentang sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron /Hashemi Rafsanjani/

 

PR CIREBON - Aksi Presiden Prancis Emmanuel Macron yang mengeluarkan pernyataan menyakiti umat islam memang sudah berlalu bulan lalu, bahkan Indonesia pun sudah ikut ambil tindakan melalui pernyataan kecaman yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Bila menilik ke bulan lalu, pada awal Oktober, Macron sempat menyebut Islam sebagai 'agama dalam krisis di seluruh dunia' dan dengan keras membela kebebasan berbicara.

Tepatnya, ada dua poin utama dari pernyataan Macron.

Pertama disoroti menurut berbagai media massa nasional, Macron secara eksplisit mengklaim bahwa apa yang terjadi adalah serangan teroris Islam. Kemudian kedua, Macron terang-terangan membela Paty karena apa yang dilakukan oleh guru itu merupakan sebuah bentuk kebebasan berekspresi.

Baca Juga: Banyak Pihak yang Tak Suka Kepulangan HRS, UAS: Tidak Selamanya Jabatan dan Kekuasaan Kau Miliki

Sedangkan, Prancis dikenal sebagai negara sekuler sekaligus mengagungkan nilai-nilai kebebasan. Jadi, pernyataan Macron ini merujuk pada ideologi Perancis.

Sementara, karikatur Nabi Muhamad dianggap melecehkan agama Islam, menimbulkan serentetan peristiwa beserta pernyataan Macron menimbulkan pro dan kontra. Singkatnya, banyak negara-negara di Benua Eropa secara kompak menyesalkan penyerangan itu.

Menyusul respon itu, berbagai perangkat negara Prancis, telah mengklarifikasi pernyataan Macron, termasuk Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Olivier Chambard.

Baca Juga: Pria Lain di Balik Terciptanya Totoro dan Studio Ghibli serta Keajaiban yang Diciptakan

Adapun Presiden Jokowi sendiri terlihat sedang membela idealisme agama, meski tak dapat dipungkiri ia juga sedang menggunakan pernyataannya untuk tujuan praktis.

Lewat pernyataannya, Jokowi terlihat sedang memperbaiki citra di dalam negeri, sekaligus menaikkan posisi tawar dalam negosiasi dagang dengan Prancis.

Kecaman Jokowi dapat dilihat sebagai upaya menaikkan citra yang terganggu akibat persoalanan penanganan pandemi Covid-19 yang, baik dari aspek ekonomi maupun kesehatan, menuai banyak kritik.

Mulai dari seorang ahli ekonomi, Faisal Basri mengingatkan Jokowi untuk memprioritaskan penanganan pandemi, bukan semata-mata mengedepankan pemulihan ekonomi.

Baca Juga: Dinilai Akan Rugikan Pariwisata Bali, Hotman Paris Ajak Pemuda di Bali Bersuara Tolak RUU Minol

Sementara itu, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, berulang kali menyayangkan ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi pandemi ini.

Pandu mengkritik klaim bahwa pemerintah telah mampu mengendalikan wabah sekaligus menjaga ekonomi. Dia menyebut bahwa data yang digunakan pemerintah tidak valid.

Kritik para ahli ini sejalan dengan tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap Jokowi terkait penanganan Covid-19, sesuai berdasarkan data sejak Agustus 2020 bahwa jumlah masyarakat yang tidak puas terhadap cara pemerintah menghadapi pandemi naik secara konsisten.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah Ridwan Kamil Pinjam Rp1,750 Miliar Ke Bank Dunia dan Distributor Motor?

Untuk itu, pemerintah Indonesia tampaknya menggunakan momentum ini untuk menekan Prancis terkait perjanjian dagang antara Uni Eropa (UE) dan Indonesia yang sejak 2015 telah mengalami defisit. Tambah lagi, Prancis dikenal sebagai salah satu negara anggota UE yang lantang melarang masuknya minyak kelapa sawit dari Indonesia.

Dengan populernya pernyataan Jokowi, pemerintah Indonesia diharapkan mampu menekan Prancis dengan gerakan boikot komoditas Prancis yang digalakkan kelompok konservatif pada level akar rumput.

Namun demikian, kecaman pemerintah Indonesia cenderung “menggantung” atau belum berlanjut pada tindakan yang nyata, sehingga banyak masyarakat pada level akar rumput, bergerak sendiri menyerukan dan mengkampanyekan gerakan untuk memboikot produk asal Prancis.

Baca Juga: Tanggapi Isu Reuni 212 yang akan Digelar di Monas, Ponpes Buntet Cirebon: Sebaiknya Ditunda Dulu

Bila menilik ke fungsi boikot, seharusnya, dapat menjadi salah satu metode untuk menekan suatu otoritas agar suara gerakan didengar. Bahkan, pemerintah dapat menindaklanjuti kecaman Jokowi dengan tindakan nyata dengan menyatakan dukungan terhadap gerakan boikot masyarakat.

Ini dapat dilakukan untuk menaikkan posisi politik Indonesia di hadapan pemerintah Perancis, sekaligus menaikkan popularitas Jokowi, meskipun efektifitas gerakan boikot relatif diragukan dilihat dari kacamata ekonomi.

Sementara itu, terkhusus Presiden Jokowi lakukan untuk menanggapi pernyataan Macron. Seharusnya, Presiden Jokowi dapat menampilkan Indonesia sebagai negara yang damai dan menjunjung tinggi toleransi, walaupun memiliki beragam latar belakang budaya, agama, dan kondisi sosial.

Baca Juga: Puting Beliung Terjang Kota Mataram, 25 Rumah Warga Alami Kerusakan

Cara ini sekaligus dapat digunakan Jokowi untuk menjawab kritik kepadanya terkait buruknya indeks toleransi di kota-kota besar.

Dengan demikian, langkah Jokowi mengecam pernyataan Macron cukup disayangkan karena relatif setengah-setengah.

Padahal ada cara lain untuk memanfaatkan momentum demi memulihkan citra, baik hubungannya dengan penanganan pandemi atau kerukunan beragama, dan juga memperbaiki peluang kerjasama dagang dengan Uni Eropa.***(Yohanes Ivan Adi Kristianto, dosen UPN Veteran Jawa Timur)

 

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: The Conversation


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x