'Selamat Hari Pahlawan' Bung Karno: Menghargai Pahlawan, Dapat Jadi Bangsa Besar

- 9 November 2020, 17:09 WIB
Jelang Hari Pahlawan, Ada Patung Soekarno di Aljir, Aljazair
Jelang Hari Pahlawan, Ada Patung Soekarno di Aljir, Aljazair /
PR CIREBON - Tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan oleh seluruh bangsa Indonesia. Hari Pahlawan dilatar-belakangi oleh peristiwa pertempuran di Surabaya menghadapi armada dan tentara Inggris.
 
Pada 10 November 1945 kota Surabaya digempur oleh tentara Inggris dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, dari darat, laut dan udara. Sehari sebelumnya Panglima Tentara Inggris di Jawa Timur Jenderal Mayor E.C. Mansergh memberi ultimatum kepada bangsa Indonesia agar meletakkan senjatanya di Pangkalan Angkatan Laut dan tempat-tempat pertahanan lainnya di Jawa Timur paling lambat Sabtu 10 November 1945 pukul 06.00 pagi. 
 
Jika ultimatum tidak diturut, maka segala tanggung jawab haruslah dipikul oleh bangsa Indonesia. 
 
 
Demikian berita Suara Amerika (VOA) dari San Francisco sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Osman Raliby dalam buku Sejarah Hari Pahlawan.
 
“Kehormatan Republik Indonesia dipertaruhkan di Surabaya”, tegas Bung Tomo selaku Pimpinan Pemberontak Rakyat Indonesia yaitu Badan perjuangan yang didirikan 13 Oktober 1945. 
  
Bung Tomo membakar semangat perlawanan para pemuda dengan kalimat takbir Allahu Akbar melalui siaran Radio Pemberontak  Surabaya. 
 
Ribuan korban dari pihak Indonesia gugur di dalam dan sekitar Pelabuhan Surabaya ketika tentara Inggris memasuki dan menduduki dua pertiga wilayah Surabaya.
 
 
Selama satu jam mereka menembaki kota dan sekeliling Surabaya dengan meriam besar. 
 
Rakyat Indonesia mempertahankan kota Surabaya dalam pertempuran dahsyat dengan semboyan lebih baik hancur berkeping-keping daripada menyerah dan dijajah di Negara sendiri.
 
Tokoh yang diakui sebagai pahlawan oleh suatu bangsa boleh jadi tidak diakui oleh bangsa lain, misalnya pahlawan bagi bangsa yang pernah dijajah dianggap pemberontak oleh bangsa penjajah. 
 
Tetapi seorang pahlawan sejati  tidak mungkin diperdebatkan dan dilupakan oleh bangsanya sendiri.
 
 
 
Pahlawan Nasional, dulu Pahlawan Kemerdekaan Nasional,  merupakan gelar tertinggi. 
 
Gelar ini diberikan sebagai tanda kehormatan dan penghargaan oleh negara atas jasa seseorang yang luar biasa terhadap nusa dan bangsa. 
 
Gelar Pahlawan dianugerahkan kepada  pemimpin Indonesia di masa silam yang semasa hidupnya karena cinta Tanah Air dan Bangsa memimpin suatu kegiatan yang teratur  guna menentang penjajahan di bumi Indonesia. 
 
Pahlawan Kemerdekaan Nasional atau Pahlawan Nasional adalah putra bangsa yang terhormat dan patut dihormati.
 
Perjuangan para Pahlawan Nasional adalah perjuangan untuk mencapai, merebut dan mempertahankan kemerdekaan. 
 
 
Pada waktu terakhir kriterianya diperluas dengan perjuangan dalam mengisi kemerdekaan, sehingga Pahlawan Nasional dapat diberikan kepada mantan pejabat atau pemimpin negara. 
 
Ada baiknya pemerintah menyempurnakan peraturan perundang-undangan tentang tata cara pengusulan atau penetapan Pahlawan Nasional agar bisa dibedakan antara Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan Pahlawan Nasional.
 
Abdul Muis almarhum, tokoh pergerakan Sarekat Islam dan sastrawan asal Sumatera Barat adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional pertama yang dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tahun 1959. 
 
Pejuang kemerdekaan dan pemimpin pergerakan Islam Haji Agus Salim yang wafat tahun 1954 adalah pejuang yang pertama dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta. 
 
 
Pada tahun 1961 almarhum Haji Agus Salim dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional bersamaan dengan almarhum Dr. Soetomo dan almarhum K.H. Ahmad Dahlan.
 
Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya mengabadikan para pahlawan yang dikenal. Tetapi patut dikenang jasa dan pengorbanan para pahlawan yang tidak dikenal di seluruh Tanah Air. 
 
“Hanya bangsa yang tahu menghargai Pahlawan-Pahlawannya dapat menjadi Bangsa yang besar. Karena itu, hargailah Pahlawan-Pahlawan kita!”  kata Bung Karno, Presiden Pertama RI.
 
Gelar Pahlawan sebetulnya tidak perlu diusulkan melalui jalur birokrasi dengan segala macam prosedur dan persyaratan administrasi, meski pada akhirnya tetap saja tergantung dari pertimbangan politis pemerintah. 
 
 
Pemerintah atas nama negara berkewajiban menganugerahkan gelar Pahlawan kepada putra terbaik bangsa yang layak dan pantas dengan kriteria yang tepat dan bisa dipertanggung-jawabkan di hadapan sejarah.
 
“Seorang pahlawan bukan ditentukan oleh tempat dimana dia dimakamkan, tetapi pahlawan itu ditentukan oleh jasa-jasanya.” kata pejuang kemerdekaan dan diplomat Mr. Mohamad Roem. 
 
Menurut Pak Roem, seorang yang memiliki sifat-sifat kepahlawanan adalah “orang yang tak pernah meminta, tetapi hanya memberi dan mengasih.”
 
Sewaktu meninggalnya eks Perdana Menteri Wilopo, Mohamad Roem menulis di Harian Kompas 3 Juli 1979 sebagai berikut, “Orang yang tidak memanipulasi keresahan rakyat untuk menutupi kesalahan atau kekurangannya, orang yang tidak main-main kepahlawanan dan tidak memberi kesempatan kepada pengikutnya bermain-main kepahlawanan, orang yang lugu, jujur, sederhana, orang itu pahlawan.”
 
 
Mohamad Roem pernah berpesan mengenai makna “kepahlawanan” dalam arti luas, yang saya dengar dari penuturan Haji Soebagijo I.N. tokoh pers dan wartawan senior Lembaga Kantor Berita Nasional Antara (wafat 17 September 2013 dalam usia 89 tahun). Saat itu Pak Roem berjumpa dengan Pak Soebagijo di Mesir tahun 1969. Pak Roem datang dari Amerika Serikat dan Pak Soebagijo baru saja mengakhiri masa tugas di Yugoslavia dan hendak pulang ke Tanah Air. Keduanya menuju Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Pada waktu itu Mohamad Roem berkata, “Pak Bagijo! Tidak usah kita ini semua jadi pahlawan untuk nusa dan bangsa, jadi orang shaleh yang berguna bagi masyarakat sekeliling saja,  itu sudah bagus.”
 
Pesan Mohamad Roem mengingatkan pada Hadis Nabi Muhammad Saw, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya.” (HR Tabrani)
 
Banyak orang ingin dikenang sebagai pejabat, sebagai pemimpin yang berkuasa, sebagai orang terkenal, orang besar dan kaya, dan sebagainya, namun tidak semua yang dicita-citakan manusia tercapai. Kalau pun tercapai, tidak semua akan dikenang sebagai orang baik dan berjasa. Dalam sebuah kata hikmah diungkapkan, “Jabatan bisa memuliakan, bisa menghinakan.”.
 
 
Sejalan dengan pesan Mohamad Roem, sangat baik direnungkan kata hikmah seorang ulama, “Orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar serta tidak akan pernah mati kebaikannya.”
 
Seorang muslim tidak cukup hanya berjuang dan berjasa bagi diri sendiri dan keluarganya, tetapi menjadi orang shaleh yang berjasa bagi masyarakat sekelilingnya, dan kalau bisa berjasa bagi umat, bangsa dan negara.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x