"Dikaitkan dengan merebaknya dinasti politik, kami berpandangan ini buruk buat demokrasi. Ini bagian dari residu demokrasi. Benar negara-negara lain juga ada praktik dinasti politik. Tapi kalau dipetakan lebih jauh, setidaknya ada dua jenis. Kalau Amerika polanya mentorship, jadi mereka memang dari bawah," ungkap Mardani di Gedung DPR.
Artinya, saat seseorang ingin mengikuti jejak keluarganya mnjadi pemimpi, maka ia sudah memiliki jejak prestasi yang bisa diuji terlebih dahulu.
Baca Juga: Merasa Tersindir dengan Hotman Paris, Jerinx SID: Saya Pikir Anda Pintar dengan Sesama Kulit Hitam
Bahkan bila merujuk kasus dalam negeri, Mardani mengambil contoh seperti yang terjadi pada putri Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani.
Menurut Mardani, pengalaman politik dan kepemimpinan Puan harus dijadikan contoh buat putra dan menantu Jokowi, karena Puan dinilai telah memulai karir politik dari bawah, seperti mulai dari Ketua Bapilu PDIP Jawa Tengah, Anggota DPR, hingga Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
"Saya agak memuji Ibu Puan Maharani. Sebelum ketua DPR kan sempat ketua Bapilu (PDIP) Jawa tengah. Kemudian maju DPR, kemudian jadi Menko (Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan)," terang Mardani.
Baca Juga: Mendikbud Minta Maaf usai Ditinggal 3 Organisasi Besar, Nadiem Makarim: Semoga Mereka Mau Bimbing
Dengan proses berjenjang itu, Mardani menilai tidak ada masalah jika kemudian anak seorang yang pernah menjadi pejabat negara juga ikut dalam kontestasi pemilu, seperti Puan Maharani.
Dalam arti lain, disimpulkan bukan orang yang tanpa pengalaman sedikit pun mengurus organisasi masyarakat, tetapi orangtua memiliki kuasa hingga tiba-tiba maju kontestasi.
"Yang tidak tepat pandangan saya dan ini berbahaya ketika prosesnya instan. Tiba-tiba saja dia langsung maju dan bertanding (jadi kepala daerah). Padahal kalau bisa ketua RT, RW, Karang Taruna, KNPI, sehingga ada urusan publik yang diurus. Karena ketika kita mengurus urusan publik, itu ada banyak dinamika," papar Mardani