Isu Radikalisme dan Intoleransi Terus Berhembus, Refly Harun Sebut Tidak Sehat Bagi Demokrasi

- 6 Januari 2021, 06:44 WIB
Refly Harun.*
Refly Harun.* /Instagram.com/@reflyharun

PR CIREBON - Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun menyatakan bahwa terlalu berlebihan kalau mengatakan intoleransi dan radikalisme menjadi bahaya laten.

Dilanjutkan Refly Harun, kalaupun memang ada kelompok yang radikal atau intoleran di masyarakat, tetapi kelompok itu bukanlah kelompok yang powerful dari segi sisi politik dan ekonomi.

"Mereka mungkin mengganggu Kamtibmas, tetapi radius gangguannya itu seberapa besar dibandingkan mereka yang berkuasa dan melakukan tindak pidana korupsi," terang Refly Harun, sebagaimana dikutip Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari unggahan kanal Youtube Refly Uncut pada Minggu, 3 Januari 2021.

Baca Juga: Terkait Mutu dan Keamanan, BPOM Pastikan Vaksin Covid-19 Akan Diawasi Dengan Standar Internasional

Refly Harun menuturkan kalau mau diukur skala yang lebih besar antara kelompok yang dianggap radikal dan intoleran dengan kelompok yang melakukan tindak pidana korupsi, korupsi bantuan sosial (bansos) sebagai contoh.

Maka, seberapa besar pengaruhnya bagi republik Indonesia ketimbang tindakan-tindakan koboy yang dilakukan oleh kelompok kecil radikalis.

Refly mencatat pilihannya ada dua bagi pemerintah, yaitu apakah tetap ingin menggunakan isu-isu, radikalisme dan intoleran, untuk memelihara establishment politik, tetapi ujung-ujungnya sebagai bangsa, Indonesia tidak akan produktif.

Baca Juga: KPK Pastikan Terus Lakukan Pengawasan Proses Penyaluran Bansos 2021, Ada apa?

Sebab, terus menerus akan menghindari masalah yang sesungguhnya.

"Saya kutip dari Rizal Ramli misalnya, masalah kita sesungguhnya adalah satu pengangguran, dua ketidakadilan, tiga soal kemakmuran, empat soal kemiskinan. Seharusnya itulah yang dijawab oleh pemerintah sekarang," ucapnya.

"Bukan dengan menghembus-hembuskan isu intoleransi dan radikalisme," sambung Refly.

Baca Juga: Tri Rismaharini Dapat Peringatan dari Denny Darko: Hati-hati, Orang Ini Akan Rela Melakukan Apapun

Ia menambahkan hal itu juga termasuk untuk para pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang seperti kehilangan dan kehabisan isu untuk menyetop kelompok politik yang berbeda dengan mereka.

Sehingga, selalu menggunakan cap radikalis dan intoleran, pendukung ISIS, dan lain sebagainya.

"Padahal ketika banyak intelektual memprotes pembubaran FPI bukan karena mereka pro FPI, bukan karena mereka pro ISIS, tetapi mereka melihat prosedur pembubaran FPI sudah melanggar hukum yang dibuat pemerintah sendiri," jelas Refly.

Baca Juga: Sepakat Dengan Wakil MUI Soal Radikalisme, Refly Harun: Harus Pahami itu Semua Tentang Politik

Refly mengungkapkan komitmen Indonesia adalah untuk menegakkan negara hukum dan menegakkan konstitusi.

Oleh karena itu, sebagai seseorang yang berkecimpung dalam hukum tata negara, atau jika konstitusi itu dicederai, maka Refly dan pakar hukum tata negara lainnya pasti bersuara.

"Cobalah cek para pakar hukum tata negara yang berada di luar kekuasaan, hampir semua suaranya sama, bahwa pembubaran FPI itu bertentangan dengan hukum. Ada juga yang mengatakan semena-mena, ada yang bilang otoriter, dan lain sebagainya," paparnya.

Baca Juga: Abu Bakar Ba’asyir Bebas, Australia Ingatkan Indonesia Tetap Awasi Meski Sudah Bebas

Refly menuturkan tidak ada pakar hukum yang menyatakan bahwa pembubaran itu benar, kecuali pakar hukum yang mungkin di-approve pemerintah, artinya yang memiliki jabatan di pemerintahan.

Jadi, dia melanjutkan, harus dapat membedakan antara politik dan masalah sesungguhnya yang dihadapi.

Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemerintah dan pendukung-pendukungnya masih ingin bermain di dalam wilayah politik, menghembus-hembuskan radikalisme dan intoleransi untuk mengambil keuntungan dan mempertahankan establishment kekuasaan.

Baca Juga: Minta Mensos Risma Fokus di Penyaluran BST, Luqman Hakim: yang Remeh-Remeh Nanti Aja Diurusnya

"Termasuk juga dalam perspektif Rizal Ramli untuk menakut-nakuti para cukong, mereka menyumbang, sehingga dengan adanya ketakutan radikalisme dan intoleransi ini kelompok yang kuat secara ekonomi," ujarnya.

Mereka yang menjadi minoritas dari sisi etnis atau kelompok, akan mau menggelontorkan dananya dalam proyek melawan yang namanya radikalisme dan intoleransi, jelasnya.

Sebagaimana yang dilakukan juga oleh negara besar ketika bicara tentang perang melawan terorisme.

Baca Juga: Dituding Bela FPI hingga Terpapar Radikalisme, BEM UI Beri Klarifikasi Soal Penolakan Pembubaran FPI

Refly menyebut hal itu sebenarnya tidak mudah untuk diuraikan secara terus terang.

"Tetapi saya kira pemerintahan Presiden Jokowi dan Presiden Jokowi sendiri tentunya bisa mengambil hikmah dari semua ini. Langkah apa yang bisa diambil ke depannya, bagaimana merajut dan mempersatukan kembali," beberkannya.

Ia menyatakan bahwa terus menyebut radikalisme dan intoleransi sama saja dengan meng-explode kelompok yang dituduh tersebut, dan itu tidak sehat bagi demokrasi.

Baca Juga: BEM UI Kritisi Pembubaran FPI, Husin Shihab: Sudah Terpapar Radikalisme, Gak Sadar Bahayanya

"Karena mereka menjadi orang yang didepak atau ditendang dalam sistem tata negara, padahal kalau ingin bernegara semua kelompok harus mendapat lapangan permainan," kata Refly.

Dalam lapangan permainan itu ada boundary yaitu Pancasila, Undang-Undang 1945, dan segala peraturan perundang-undangan termasuk proses penegakan hukum. ***

Editor: Asri Sulistyowati

Sumber: YouTube Refly UNCUT


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah