Minta Sumatera Barat Diubah jadi Minangkabau, Fadli Zon: Hubungannya dengan Keistimewaan Sejarah

24 September 2020, 07:11 WIB
Anggota DPR sekaligus Politisi Partai Gerindra, Fadli Zon mendukung saran dari mantan Wapres RI Jusuf Kalla soal penundaan Pilkada 2020 mendatang.* / Instagram @fadlizon./

PR CIREBON - Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Fadli Zon mengusulkan agar Provinsi Sumatera Barat diganti namanya menjadi Minangkabau.

Menurut Fadli, usulan tersebut bukanlah hal baru karena sudah muncul sejak 1970-an dan masih relevan.

Fadli yang juga ketua Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) menilai, usulan pergantian itu tepat jika merujuk dari sisi sejarah dan kebudayaan.

Baca Juga: Siap-siap Akhir September, Bantuan Subsidi Upah Tahap Empat Akan Disalurkan Bagi 2,6 Juta Pekerja

"Saya setuju usulan penggantian nama tersebut. Nama Minangkabau jauh lebih tepat dipakai jika ditinjau dari sisi sejarah dan kebudayaan. Apalagi, secara demografis, 88,35 persen masyarakat yang hidup di Sumatera Barat memang berasal dari etnis Minangkabau," kata Fadli, dalam keterangan resminya, Rabu, 23 September 2020, sebagaimana diberitakan Warta Ekonomi partner sindikasi konten Viva.

Namun, ia menekankan, usulan pergantian nama tersebut bukan didorong sentimen etnisitas yang dangkal. Ia menyinggung nama provinsi lain seperti Aceh, Papua, atau Bali yang juga ada sejarahnya.

"Dan, itu ada hubungannya dengan keistimewaan sejarah, budaya, dan identitas yang melekat pada etnis bersangkutan. Saya menilai, masyarakat Minangkabau juga layak mendapatkan kehormatan serupa itu," tutur Fadli.

Baca Juga: Demi Menangkan Anak Emas Gibran Rakabuming, Banyak Politisi PDIP Kompak Turun Gunung di Pilkada Solo

Ia merincikan beberapa alasan nama Minangkabau layak jadi provinsi. Pertama, nama Minangkabau lebih mewakili identitas, kebudayaan, serta kesejarahan masyarakat yang ada di Sumatera Barat.

Hal itu berbeda dengan nama Sumatera Barat yang asosiasinya hanya terkait wilayah administratif.

"Jadi, bobot nama Minangkabau jauh lebih besar dibanding nama Sumatera Barat. Sebab, kalau kita bicara Minangkabau, maka tarikan sejarahnya merentang hingga jauh ke belakang, jauh sebelum Indonesia lahir," ujarnya.

Baca Juga: Ogah Turun Panggung, Poyuono Serang Anies Gagal Urus Pandemi hingga Ekonomi Indonesia Jelang Resesi

Alasan lainnya yaitu, daerah Minangkabau memiliki posisi dan pengaruh politik istimewa terhadap sejarah pembentukan Republik Indonesia. Salah seorang penggagas Republik Indonesia pada 1925 adalah orang Minang yaitu Tan Malaka.

Selain Tan Malaka, ada figur Sjafruddin Prawiranegara yang sempat memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Bukittinggi sebagai ibu kotanya.

"Adanya PDRI ini pula yang kemudian memberi kita legitimasi untuk meneruskan perundingan dengan Belanda di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Tanpa PDRI belum tentu ada NKRI. Karena PDRI juga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI pada 27 Desember 1949, setelah perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB)," ujar anggota DPR itu.

Baca Juga: Pilkada 2020 Kedok Dinasti Politik Jokowi, PA 212: Sandiaga Uno dan Fahri Hamzah Rela Jadi Kacung

Lebih lanjut, secara demografis, jumlah etnis Minangkabau di Indonesia hanya berkisar sekitar 3 persen dari total jumlah penduduk.

"Namun, peran orang Minangkabau dalam sejarah Indonesia jauh lebih besar dari itu," sebutnya.

Dia menambahkan, alasan lain di bidang politik yaitu peran dan dominasi orang Minang dalam masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini terutama dalam periode 1920-an hingga 1960-an.

Baca Juga: Istrinya Maju Pilkada Lombok Tengah, Sekda NTB Diminta Cuti Agar Hindari Penyalahgunaan Jabatan

"Dari empat orang Bapak Republik yang namanya paling sering disebut, yaitu Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka, tiga di antaranya adalah orang Minang. Mohammad Hatta adalah Proklamator RI bersama Soekarno," lanjut Fadli.

Fadli juga menyinggung komposisi sesudah Indonesia merdeka. Ia menyebut, satu orang Minang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI yaitu Mohammad Hatta. Lalu, empat orang jadi Perdana Menteri seperti Sjahrir, Hatta, Abdoel Halim, dan M. Natsir.

Dia menambahkan, merujuk data dari ilmuwan sekaligus prosesor politik asal Amerika Serikat Crawford Young, pada periode 1945 hingga 1970 diketahui sekitar 14 persen anggota kabinet diisi orang-orang Minang.

Baca Juga: Sia-sia Ahok Bongkar Borok Pertamina, Erick Thohir Sebut Lobi Menteri adalah Hal Biasa Bagi BUMN

Maka itu, Fadli menyinggung jika ada pihak yang seringkali berkoar soal NKRI harga mati mesti menilik kembali sejarah.

"Jangan lupa, orang yang mengusulkan mosi integral, yaitu mempersatukan kembali wilayah NKRI yang tercerai-berai ke dalam sejumlah negara bagian, itu juga orang Minang. Namanya Mohammad Natsir," ujarnya.

Fadli pun menyoroti saat Ujung Pandang menjadi Makassar. Nama Makassar dinilainya lebih dekat dengan identitas masyarakat setempat.

"Nama resmi Aceh bahkan pernah beberapa kali diubah. Begitu juga Irian Jaya diganti nama dengan Papua di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Sehingga, usulan perubahan nama Sumatera Barat menjadi Minangkabau merupakan hal yang lumrah dan lazim," tutur Fadli.***

Editor: Nur Annisa

Sumber: Warta Ekonomi Viva

Tags

Terkini

Terpopuler