Tolak Pelarangan FPI, Kontras: Penindakan Tegas FPI Seharusnya Tak Abaikan Prinsip Negara Hukum

1 Januari 2021, 07:35 WIB
Kontras menolak soal SKB pelarangan kegiatan FPI/ /Kontras.org/

PR CIREBON - Larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam (FPI) oleh Pemerintah, ditentang keras oleh Kontras.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu mengeluarkan rilis resmi berupa pernyataan masyarakat sipil yang menolak soal SKB tiga Menteri dan pejabat lainnya.

Kontras mengakui bahwa segala bentuk kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran-pelanggaran hukum lain yang dilakukan FPI harus ditindak tegas.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Cirebon Hari Ini, 1 Januari 2020: Hujan Sedang di Siang Hari

Namun, penindakan tegas kepada FPI tersebut juga seharusnya tidak mengabaikan prinsip negara hukum.

“Narasi yang menganjurkan kekerasan dan provokasi kebencian sebagaimana dipertontonkan organisasi seperti FPI selayaknya ditindak tegas tanpa mengabaikan prinsip negara hukum,” tulis Kontras sebagaimana dilansir Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari laman resminya.

“Negara tidak boleh tunduk pada narasi kebencian namun di sisi lain, Negara harus menegakkan prinsip kebebasan berserikat dan berorganisasi di negara hukum berlandaskan rule of law,” sambungnya.

Baca Juga: Sentil Amien Rais Soal Kritik Pembubaran FPI, Muannas Alaidid: Anda Bukan Siapa-Siapa

Menurut Kontras, SKB yang dikeluarkan Pemerintah soal pelarangan kegiatan dan penggunaan simbol FPI adalah perbuatan yang bertentangan dengan prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

Menurut Kontras, SKB FPI tersebut, salah satunya, didasarkan pada UU Ormas yang secara konseptual juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum.

UU Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law).

Baca Juga: Pemeran Pria Video Syur Gisel Buka Suara, MYD: Gue Bukan Siapa-siapa

Oleh karena itu, Kontras setidaknya menyebut tiga hal yang bermasalah pada SKB pelarangan kegiatan dan penggunaan simbol dan stribut FPI.

“Pertama, pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat,” tulis Kontras.

Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.

Baca Juga: Terkuak! Awal Perkenalan Gisel dan MYD hingga Video Syur Dikirim Lewat AirDrop

Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai “organisasi yang tidak terdaftar”, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum.

“Kedua, oleh karena FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, maka pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum,” kata Kontras.

Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut.

Baca Juga: Presiden Jokowi: Tahun 2021 akan jadi Catatan Sejarah Pemulihan Kehidupan

“Ketiga, SKB FPI menjadikan UU Ormas yang bermasalah secara konseptual sebagai dasar hukum. Prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak lagi melalui mekanisme peradilan, tetapi hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah,” tulis Kontras.

Hal itu, menurut Kontras, jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan pelindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat.

Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi termasuk berupa pembubaran terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan.

Baca Juga: FPI Dibubarkan, AM Hendropriyono: Organisasi Pelindung Provokator Tunggu Giliran

Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subjek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi. ***

 

Editor: Tita Salsabila

Sumber: KontraS

Tags

Terkini

Terpopuler