Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Tidak Mampu Tutupi Potensi Defisit

- 29 November 2019, 09:42 WIB
SEJUMLAH buruh berunjuk rasa di halaman Kantor DPRD Kabupaten Bandung Barat, Jalan Raya Tagog-Padalarang, Rabu, 18 September 2019.*
SEJUMLAH buruh berunjuk rasa di halaman Kantor DPRD Kabupaten Bandung Barat, Jalan Raya Tagog-Padalarang, Rabu, 18 September 2019.* /CECEP WIJAYA SARI/PR/

CIREBON (PR)- Kenaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100% pada tahun 2020 mendatang, dipastikan tak akan bisa menutupi potensi defisit.

Lantaran beban kepesertaan yang ditanggung BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan terlalu besar, hingga mencapai lebih dari 222 juta orang.  

Solusi mendasar yang seharusnya dilakukan adalah dengan pembenahan tata kelola. Salah satu upaya pembenahan tata kelola yang harus segera dilakukan yakni dengan cara memilah segmen peserta JKN dan membagi pengelolaanya berdasarkan kelas pekerja. 

Baca Juga: Polisi Ringkus Sindikat Pengedar Narkoba yang Dikendalikan dari Dalam Lapas Cirebon dan Ciamis

Namun memang menurut Hery Susanto Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) tidaklah mudah.

Untuk melakukan pembenahan tata kelolanya, pemerintah harus terlebih dahulu merevisi UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Menurut Hery, carut marutnya tata kelola program jaminan kesehatan nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan hingga tembus defisit Rp 32 triliun di tahun 2019, menjadi bukti jelas ada yang salah dalam tata kelola program JKN di BPJS Kesehatan.

Baca Juga: Tindakan dan Perawatan Terhadap ODGJ Pengaruhi Proses Penyembuhan

"Meski pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100% pada tahun 2020, potensi defisit tetap akan terus terjadi, selama tidak dilakukan pembenahan tata kelola," katanya Kamis 28 November 2019.

Hery menilai, salah satu penyebab utama carut marut itu adalah beban kepesertaan yang ditanggung BPJS Kesehatan terlalu besar, hingga mencapai lebih dari 222 juta orang.  

"Pemerintah melalui BPJS Kesehatan tidak mampu mengelola JKN akibat terpusatnya pengelolaan JKN seluruh rakyat Indonesia seluruhnya di BPJS Kesehatan," ujarnya.



Hery menyarankan, pengelolaan JKN mestinya tidak lagi menjadi domain total BPJS Kesehatan. Caranya, segmen peserta JKN harus dipilah dan dibagi berdasarkan kelas pekerja. 

Untuk jaminan kesehatan pekerja baik pekerja penerima upah (PPU) dan pekerja bukan penerima upah (PBPU) sebaiknya dikelola oleh BP Jamsostek. 

Sementara, BPJS Kesehatan khusus mengurusi JKN peserta bantuan iuran (PBI) dan ASN maupun non ASN yang dibayar menggunakan APBN dan APBD.

Baca Juga: Festival Tajug 2019 Dorong Peran Masjid Sebagai Pusat Peradaban

Kemudian, PBPU yang selalu dijadikan kambing hitam karena sering menunggak iuran harus dipilah, yakni yang tidak mampu karena tergolong warga miskin masuk daftar peserta bantuan iuran (PBI) yang menjadi tanggungan APBN dan APBD.

Sedangkan PBPU yang mampu, program JKN-nya dikelola BP Jamsostek.  Sedangkan peserta bukan pekerja masuk dalam daftar PBI yang diurusi BPJS Kesehatan.

"Dengan segmen peserta dari unsur pekerja penerima upah dan peserta bukan penerima upah dikelola BP Jamsostek, beban BPJS kesehatan menjadi berkurang karena hanya fokus mengurusi PBI, ASN dan nonASN," tuturnya.

Halaman:

Editor: Abdul Muhaemin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x