Cirebon, Potret Kebinekaan Sesungguhnya

- 5 Februari 2019, 18:13 WIB
WISATAWAN berteduh di bawah Kutagara Wadasan, Keraton Kasepuhan, Sabtu 2 Februari 2019. Motif mega mendung di bagian atas Kutagara Wadasan, menjadi salah satu penanda nyata pengaruh budaya Tiongkok di keraton yang dibangun Sunan Gunungjati, penguasa Kesultanan Cirebon, ratusan tahun yang lalu.*/ANI NUNUNG/PR
WISATAWAN berteduh di bawah Kutagara Wadasan, Keraton Kasepuhan, Sabtu 2 Februari 2019. Motif mega mendung di bagian atas Kutagara Wadasan, menjadi salah satu penanda nyata pengaruh budaya Tiongkok di keraton yang dibangun Sunan Gunungjati, penguasa Kesultanan Cirebon, ratusan tahun yang lalu.*/ANI NUNUNG/PR

TAK dijelaskan kapan tanggal dan ­bulannya, tetapi muncul pendapat ­sejarah yang mengejutkan. Ada ­pendapat menyebut ­bahwa Kelenteng Jamblang atau dikenal dengan sebutan Hok Kek Cheng Sin di Kecamatan ­Jamblang, ­Kabupaten Cirebon, didirikan pada malam ketika Masjid Agung Sang Ciptarasa di Kompleks ­Keraton Kasepuhan, ­Kota Cirebon, ­juga ­dibangun. 

Waktunya tidak dijelaskan secara rinci kapan, tetapi bukti sejarah itu lantas diperkuat adanya tiang penyangga Kelenteng Jamblang dari kayu jati yang sedianya akan dijadi­kan salah satu pilar di masjid yang dibangun Sunan Kali­jaga atas perintah Kanjeng Sunan Gunung Djati pada abad ke-15 atau tahun 1480 kalender masehi.

Adalah seorang tokoh China di abad itu yang bernama Njoo Kit Tjit, salah satu pengawal Putri Ong Tien, istri Sunan Gunung Djati yang ber­asal dari Tionghoa. Dia memohon izin meminta satu pilar kayu jati kepada Sunan Gunung Djati yang semula akan dijadikan tiang Masjid Agung. Kayu itu akan menjadi salah satu tiang pe­nyang­ga utama kelenteng yang hendak didirikannya di daerah Jamblang.

Atas seizin Sunan Gunung Djati, kayu jati itu lantas dibawa ke Jamblang. Dikisahkan, Sunan Kalijaga selaku arsitek yang ditunjuk Sunan Gunung Djati, sempat kebingungan karena salah satu kayu jati yang sudah dipersiapkan untuk tiang pe­nyangga masjid hilang.

Namun, setelah memperoleh penjelasan, Sunan Kalijaga akhir­nya turut mengizinkan. Tidak kehilangan akal, meski kayu jatinya berkurang satu, berkat kecerdasan dan pengetahuan arsitekturalnya, Sunan Kalijaga menggantikan kayu jati itu de­ngan berbagai potongan kayu yang diikat sebagai pengganti.

”Itu menjelaskan kenapa di Mas­jid Agung Sang Ciptarasa ada yang namanya saka tatal. Saka itu cam­puran dari berbagai potong­an kayu yang dijadikan saka masjid sebagai pengganti kayu jati ­untuk Kelenteng Jamblang. Dalam sejarahnya, pembangunan ­Kelenteng Jamblang itu sama, berbarengan dengan malam ketika Sunan Kalijaga membangun Masjid Agung Sang Ciptarasa,” tutur Filolog Cirebon Dr Oppan Raffan Hasyim.

Tak ada penjelasan rinci tanggal dan bulan tepatnya kedua bangunan itu didirikan. Catatan sejarah hanya menyebut tahun pembangunannya yakni 1480 Masehi. 

Akulturasi

Fakta sejarah itu diungkap Oppan untuk menunjukkan bahwa percampuran kebudayaan di wilayah pantai utara (pantura) Jawa umumnya, khususnya Cirebon, sudah memiliki riwayat yang ­sangat panjang. Hal ini diperkuat pendapat budayawan se­tempat, Nurdin M Noer yang me­nyebutkan, identitas kebudayaan Cirebon ialah pada percampuran atau pembauran dari berbagai ke­buda­ya­an, baik lokal maupun yang mondial (global).

Halaman:

Editor: Gita Pratiwi


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x