- Penolestation (menyentuh secara tidak senonoh atau memaksa untuk menyentuh alat kelamin atau buah dada pelaku);
- Rape/perkosaan (dimasukannya benda apapun kedalam lubang apapun untuk kepuasan seksual);
- Voyeurism (melihat korban di berbagai tahap melepas pakaian);
- Ekshibisionisme (mempertontonkan alat kelamin);
- Pornografi (memfilmkan atau merekam video anak secara tidak senonoh) dan
- Prostisusi paksa (terlibat prostitusi atas perintah orang dewasa).
Kepada peserta PPU juga diminta agar selalu waspada, karena pelaku kekerasan seksual itu juga sering kali melakukan aksinya secara daring. “Contohnya, berawal dari grooming secara online, dimana seseorang mengincar orang-orang yang secara psikis sedang galau di media sosial. Pelaku seolah bisa menjadi orang yang sangat peduli dan paling baik dan ujung-ujung nya melakukan pelecehan.”
Baca Juga: Setelah Kepergian Ronaldo, Karim Benzema Dinobatkan Jadi Pemain Terbaik UEFA
Dalam kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual, menurut pembicara, pelaku bahkan tak segan-segan mengancam korban dengan cara apapun. “Salahsatu kasus, misal pelaku meminta korban mengirimkan foto-foto syur. Lalu disuatu waktu pelaku menggunakan foto tersebut untuk mengancam korban dengan menyebarkannya.”
Menghadapi kemungkinan terjadinya masalah seperti ini, termasuk ancaman, maka korban bisa langsung melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
Dia menilai hampir 95% kasus pelecehan dan kekerasan seksual terjadi akibat lingkungan keluarga yang tidak harmonis atau tidak berfungsinya peran keluarga.
Baca Juga: Bulu Tangkis Tokyo : Viktor Axelsen Benar-benar Sandungan Batu Karang bagi Ginting
Paham Radikalisme
Sementara itu aktifis Medsos Enda Nasution pada kesempatan berbicara di hadapan calon mahasiswa UTama mengingatkan bahwa kalangan muda termasuk mahasiswa merupakan target yang paling mudah untuk dipengaruhi, baik oleh hal positif maupun hal negatif.
“Ini terbukti di berbagai kampus di Indonesia, mahasiwa jadi sebuah target baru untuk menyusupkan paham paham radikalisme, termasuk lewat media sosial,” kata Enda.
Aktifis Medsos ini juga menggarisbawahi bahaya yang tetap menganam kalangan muda dan mahaiswa dengan penyebaran paham radikalisme. “Tetap hati-hati terhadap paham ini, karena para pelaku radikalisme menganggap masih ada dan banyak potensi untuk rekrutmen radikalisme lewat media sosial terutama.”