Ketegangan Laut Cina Selatan Bisa Berakhir jika Tiongkok Mau Berbagi Kedaulatannya

15 Juni 2020, 18:39 WIB
KONFLIK Laut Cina Selatan /AFP via Los Angeles Times

PR CIREBON - Mantan Wakil Direktur Administrasi Keselamatan Maritim Hainan Zhang Jie seolah tak percaya dengan perubahan yang cepat di Kepulauan Spratly.

Hal-hal mulai berubah pada tahun 2013, ketika Beijing memulai program pembangunan pulau dan pembangunan infrastruktur untuk mengubah gugusan pulau kecil dan terumbu menjadi pusat penelitian kelautan dan menjadi perhatian beberapa tetangganya.

"Saya terkejut ketika melihat foto-foto pesawat sipil mendarat di Fiery Cross Reef (pada 2016), yang hanya berupa batu kecil yang muncul dari laut ketika saya mengunjunginya beberapa tahun sebelumnya," kata Zhang dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari South China Morning Post.

Baca Juga: Pesawat Kargo Y-20 Kirimkan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok untuk Parade Hari Kemenangan Rusia

Zhang kemudian mengungkapkan bahwa ia terkesan dengan perlakuan Tiongkok, di mana mereka mengubahnya menjadi daratan besar dengan landasan terbang sepanjang 3.000 meter di Laut Cina Selatan.

Pada tahun-tahun sejak penerbangan pertama itu, pengembangan Spratly terus berlanjut. Mischief dan Subi reef yang bertetangga sekarang juga memiliki landasan terbang yang mampu menampung pesawat besar. Ada juga berbagai bangunan dan fasilitas yang cocok untuk keperluan militer atau sipil seperti hanggar untuk jet tempur.

Kehadiran inilah yang paling menimbulkan kegelisahan di antara negara lain dan hak terkait dengan perikanan dan eksplorasi sumber daya yang tersebar di Laut Cina Selatan.

Baca Juga: 10 Kali Lebih Menular Dibanding Covid-19, Muncul Mutasi Baru Corona dengan Mahkota Lebih Banyak

Keita Beijing mengklaim sekitar 90 persen dari jalur air yang disengketakan sebagai wilayah kedaulatannya, Vietnam, Malaysia, Brunei, Taiwan dan Filipina juga memiliki klaim sendiri.

Demikian juga, Amerika Serikat dan banyak sekutunya di Eropa telah mengkritik apa yang mereka lihat sebagai gerakan Tiongkok yang semakin agresif di wilayah tersebut.

Tetapi Zhang yang kini bekerja sebagai peneliti di Institut Nasional Studi Laut Cina Selatan, mengatakan hal tersebut tidak selalu seperti itu. Dalam lebih dari 30 tahun di agensi tersebut, dia bilang ada sejumlah proyek penelitian kolaboratif dengan para ilmuwan dari seluruh wilayah.

Baca Juga: Dituduh Buang Air Kecil Saat Protes di London, Seorang Pria Ditangkap dan Didakwa

"Kami membangun mekanisme komunikasi yang komprehensif dan bekerja bersama untuk menyelamatkan banyak orang. Tidak masalah apakah mereka orang Tiongkok atau Korea atau Vietnam, atau apa pun. Di mata penyelamat, nyawa itu penting, bukan dari mana asalnya," ujarnya.

Meskipun Beijing telah berulang kali mengatakan bahwa program pembangunan pulau adalah untuk kebaikan global, tidak hanya memberi manfaat bagi kapal dagang yang lewat tetapi juga nelayan dari seluruh Asia Tenggara, banyak pengamat yang kurang yakin.

"Kecuali mercusuar, penggunaan semua layanan publik lainnya yang ditawarkan oleh Tiongkok sangat terbatas, sementara jumlah perselisihan antara nelayan Tiongkok dan saingan mereka dari negara-negara tetangga terus meningkat," kata Zhang Mingliang, seorang profesor yang mengkhususkan diri dalam studi Laut Cina Selatan di Universitas Jinan di Guangzhou.

Baca Juga: Kematian George Floyd Viral, Sang Anak Terima 'Berkat' dari Beasiswa Penuh hingga Saham Disney

Zhang mengungkapkan bahwa perselisihan dan kebuntuan ini adalah hasil dari konsep yang sudah ketinggalan zaman dimana banyak orang Tiongkok menganggap sumber daya Laut Cina Selatan sebagai keuntungan eksklusif yang tidak boleh dibagi.

"Tetapi opsi yang lebih berkelanjutan adalah bagi Tiongkok, sebagai negara terbesar dan paling kuat di kawasan ini, untuk berbagi sumber daya itu, dan dengan demikian membantu menjaga perdamaian dan stabilitas jangka panjang," ungkapnya.***

Editor: Gugum Rachmat Gumilar

Sumber: South China Morning Post

Tags

Terkini

Terpopuler