UU Ciptaker vs UU Ketenagakerjaan: Pahami Beda Aturan Waktu Istirahat dan Cuti bagi Pekerja

- 8 Oktober 2020, 07:21 WIB
Ilustrasi Omnibus Law
Ilustrasi Omnibus Law /

PR CIREBON - Sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR RI pada sidang paripurna Senin, 5 Oktober 2020 lalu, sentimen publik terhadap pemerintah meningkat dan ramai penolakan.
 
Publik menolak karena beranggapan banyak pasal pasal dalam UU Cipta Kerja yang merugikan pekerja/buruh. Salah satunya adalah aturan mengenai waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. 
 
Sebelumnya, aturan mengenai hal itu sudah tertuang pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
 
 
Dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari RRI, berikut perbedaan aturan cuti dan istirahat mingguan UU Ketenagakerjaan (UUK) vs UU Cipta Kerja.
 
Pasal 79 ayat 2 huruf b UU No.13/2003 (UUK)
 
Dalam pasal ini diatur mengenai istirahat mingguan, pasal 79 ayat 2 huruf b UUK menyebutkan, Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
 
 
Sementara dalam UU Cipta Kerja, aturan 5 hari kerja itu dihapus, sehingga berbunyi, Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
 
Pasal 79 Ayat 2d
 
Pasal ini dalam UUK menyatakan:
 
Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
 
 
Dalam UU Cipta Kerja, regulasi mengenai cuti panjang diserahkan ke perusahaan. UU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau perjanjian kerja sama yang disepakati.
 
Pasal 81 UUK
 
Pasal ini mengatur pekerja/buruh perempuan bisa memperoleh libur pada saat haid hari pertama dan kedua pada saat haid, berbunyi:
 
 
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
 
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
 
UU Cipta Kerja tidak mencantumkan hak cuti haid bagi perempuan. UU Cipta Kerja tidak menuliskan hak cuti haid di hari pertama dan kedua masa menstruasi yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga untuk peraturan ini masih mengacu pada UUK Nomor 13 Tahun 2003.
 
 
Pasal 82 UUK
 
Pasal ini mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran.
 
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
 
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
 
 
Draft UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut, sehingga tetap berlaku sesuai aturan dalam UUK.
 
Pasal 83 UUK
 
Pasal ini mengatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
 
"Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja."
 
 
UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut.
 
Pasal 80 UUK
 
Pasal ini menyatakan, Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
 
UU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status penghapusan dalam pasal tersebut, sehingga masih berlaku peraturan yang lama dalam UUK.
 
UU Cipta Kerja tidak mengatur dan mengubah semua pasal dalam aturan sebelumnya, sehingga hal hal yang tidak diatur dalam UU Cipta Kerja pengaturannya masih merujuk pada UU yang sebelumnya.***

Editor: Nur Annisa

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x