“Sehingga apa yang menjadi produk kampus atau apa yang akan menjadi produk DPR, didialogkan dan saling support satu sama lain,” imbuhnya.
Dengan begitu, lanjut Willy Aditya, praktik-praktik yang empirisisme dapat dihindari.
“Empirisisme itu kasarnya katak dalam tempurung. Jadi perlu ada dialektika dalam penyusunan RUU. Karena cita-cita kita berbangsa dan bernegara ini kan panjang.
"Kita ingin daya tahan undang-undang kita ini cukup lama. Koreksi-koreksi (revisi) sebaiknya bukan pada hal yang fundamental,” pungkas Willy Aditya.***