PR CIREBON – Polemik soal revisi UU ITE masih menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Revisi UU ITE dinilai sebagian pihak perlu dilakukan lantaran dinilai telah menghambat demokrasi.
Sebab, pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE dinilai telah mengancam kebebasan berpendapat dan merusak prinsip demokrasi di Indonesia.
Baca Juga: Sebut Najwa Shihab Tak Berhak Nilai UU ITE, Henry Subiakto: yang Berhak Itu Hanya MK
Oleh karena itu, sejumlah pihak mendesak agar UU ITE direvisi dan dicabut pasal-pasal karetnya.
Berbeda dengan itu, Pakar dan Pengamat Politik Rocky Gerung justru menilai Presidential Threshold lah yang telah menghambat demokrasi.
Rocky Gerung menyetujui bahwa UU ITE adalah undang-undang yang mengancam kebebasan berpendapat dalam demokrasi.
Baca Juga: Revisi UU ITE Segera Direalisasikan, Mahfud MD Sebut Kemenko Polhukam Bentuk Dua Tim Khusus
Akan tetapi, UU ITE hanyalah penghambat yang berada di hilir, sedangkan hulunya adalah Presidential Threshold.
“Penghambat utama demokrasi yaitu presidential threshold, uu ite hanya hilir yang hulu itu presiden threshold,” ujarnya, seperti dilansir Cirebon.Pikiran-Rakyat.com dari tayangan yang diunggah kanal Youtube Rocky Gerung Official pada Sabtu 20 Februari 2021.
Menurut Rocky, presidential threshold adalah kebijakan yang membatasi partai-partai lain untuk maju dalam Pemilu.
Baca Juga: Husin Shihab: Teriak Revisi UU ITE Karena Kerap Kepelingsut saat Gencarkan Propaganda
Kebijakan tersebut akhirnya membuat yang akan maju dalam kontestasi Pemilu hanya partai-partai tertentu saja.
Hal tersebut lah yang menurut Rocky justeru menghambat demokrasi.
Selain itu, berkaitan dengan UU ITE yang saat ini tengah ramai diperbincangkan, menurut Rocky Gerung, Presiden hanya perlu mengembalikan UU ITE pada interpretasi yang sesungguhnya.
Baca Juga: Polemik Revisi UU ITE, Henry Subiakto: yang Berhak Menilai UU itu Salah atau Tidak adalah MK
Rocky Gerung menjelaskan bahwa interpretasi UU ITE yang sesungguhnya ialah pada soal transaksi elektronik.
Maka, menurut Rocky Gerung, tak perlu dipelintir menjadi UU yang akan menginterpretasi pemikiran.
“Sebetulnya tak perlu repot-repot ada revisi, cukup kembalikan saja interpretasi uu ite pada soal transaksi elektronik bukan interpretasi soal pemikiran,” pungkas Rocky Gerung. ***