Polemik UU Cipta Kerja Berlanjut, Bukhori Yusuf: Penyelenggara Haji dan Umrah Keluhkan Sanksi Berat

31 Oktober 2020, 09:37 WIB
Ilustrasi Omnibus Law. /Pikiran-rakyat.com

PR CIREBON – Selama menjadi polemik, pasal-pasal yang ada dalam Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja menjadi perhatian banyak pihak. Sebagian besar menyoroti pasal-pasal yang tertera mengenai buruh.

Sementara itu, Anggota Badan Legislasi DPR RI, Bukhori Yusuf, mengatakan sejumlah asosiasi penyelenggara ibadah haji dan umrah (PIHU) mengeluhkan pidana kurungan hingga 10 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar dalam UU Cipta Kerja Bab III Bagian Empat, Paragraf 14 tentang Keagamaan pasal 125 dan 126.

Hal itu disebabkan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dapat juga dikenakan sanksi administratif sekaligus oleh aparat penegak hukum, sesuai bunyi pasal 118A dan pasal 119A, sehingga sanksi yang diterima pun berlapis-lapis.

Baca Juga: Khabib Kritik Presiden Macron Atas Pernyataan ‘Separatisme Islam': Semoga Tuhan Mempermalukan Mereka

"Berat sekali konsekuensinya (bagi PIHK dan PPIU) bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administratif bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun,” kata Bukhori dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta pada Jumat, 30 Oktober 2020, dilansir PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara News.

Pasal 118A dan 119A UU itu mencakup sanksi administratif dari yang ringan yaitu berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha. 

Selain itu, PIHU juga berkewajiban mengembalikan biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK serta kerugian bukan materiil lainnya.

Baca Juga: Tanggapan SBY Soal Pilpres AS: Pandangan Ini Relatif Sama dengan Kalangan Lain di Negara Kita

Meskipun begitu, Bukhori menjelaskan bahwa pasal-pasal 118A dan 119A sesungguhnya memiliki maksud yang baik, yakni memberikan proteksi kepada jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara ibadah haji/umrah yang merugikan jemaah, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel.

"Pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal, akan tetapi sangat disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa yang bermasalah adalah yang tercantum dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126.

"Disebutkan bahwa PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar," kata Bukhori.

Baca Juga: Ribuan Orang Menggelar Protes Anti-Prancis di Bangladesh dan Pakistan Terkait Kartun Nabi Muhammad

Ia mengatakan konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi itu akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet karena penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sanksi administratif dan sanksi pidana sekaligus.

Dari segi etika hukum, Bukhori menganggap pemberlakuan sanksi berlapis itu pun tidak pada tempatnya karena melampaui batas kewajaran. Hal itu disebabkan kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu yang sangat bersamaan. Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian.

Ia pun menduga munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam UU itu sesungguhnya karena ketergesa-gesaan selama proses penyusunan UU Cipta Kerja. 

Baca Juga: Perbedaan Indonesia Dulu dan Sekarang dalam Menghadapi Sengketa Perairan Natuna dengan Tiongkok

Bukhori mengklaim pembahasannya saat itu dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI secara terpisah dari PKS, khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU Nomor 8/2019 dengan menambahkan batas waktu lima hari.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Antara News

Tags

Terkini

Terpopuler