Perbedaan Indonesia Dulu dan Sekarang dalam Menghadapi Sengketa Perairan Natuna dengan Tiongkok

31 Oktober 2020, 08:10 WIB
Coast Guard Indonesia penjaga laut Natuna. /

PR CIREBON – Kemunculan Negeri Tirai Bambu (Tiongkok) yang mengklaim sepihak di Laut Cina Selatan (LCS) dan tidak mau tunduk pada kesepakatan internasional sesuai Unclos 1982, menjadi ketegangan internasional. 

Sejumlah negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia, dibikin repot oleh ulah ambisius Tiongkok. Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjaga stabilitas di LCS dengan kekuatan militer minimal, kini harus mengerahkan lebih banyak lagi kekuatan demi mengimbangi kekuatan militer Tiongkok.

Salah satu Pengamat Ekonomi dan Politik Fuad Bawazier mengatakan, Amerika Serikat dan negara negara ASEAN nampaknya sependapat bahwa aturan yang sudah berlaku di LCS itu tidak boleh diubah, dan wilayah LCS tidak boleh dikuasai sepihak oleh Tiongkok.

Baca Juga: Cek Fakta: Benarkah 48 Orang di Korea Selatan Meninggal Akibat Vaksin Corona? Ini penjelasannya

"Sekali perubahan terjadi, bukan saja merugikan negara negara ASEAN. Tapi, juga perdagangan internasional. Lebih dari itu, negara negara ASEAN akan kehilangan hak hak atau klaimnya selama ini atas LCS, dan bukan tidak mungkin-akan menjadi kerugian permanen. Karena itu, Indonesia dan negara negara ASEAN lainnya menolak tegas klaim Tiongkok atas 90 persen Laut Cina Selatan," kata Fuad Bawazier, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari RRI. 

Fuad menuturkan, dirinya yang juga pakar ekonomi, semasa pemerintahan Presiden Soeharto, ancaman Tiongkok sudah dirasakan, atau sekurang-kurangnya potensi ancaman Tiongkok terhadap Natuna sudah terdeteksi.

Akan tetapi pada saat itu, kata dia, Tiongkok belum sekuat sekarang. Sebab, saat itu pula Soeharto dengan cerdas memimpin Pemerintah Orba dengan mengundang (perusahaan) Amerika Serikat untuk mengeksplorasi gas alam yang ada di (perairan) Natuna yang merupakan wilayah terluar Indonesia, yang saat itu mulai diklaim oleh Tiongkok.

Baca Juga: Turki dan Yunani Diguncang Gempa Berkekuatan M 7, Erdogan Berharap Situasi Dapat Segera Pulih

Walaupun mengandung cadangan gas alam di Natuna luar biasa besarnya, awalnya tidak ada perusahaan Migas yang berani (karena potensi gangguan oleh Tiongkok), apalagi bila harus mengikuti pola bagi hasil yang berlaku saat itu seperti 65-35 atau 85-15. Tetapi Indonesia diam-diam memastikan bahwa harus perusahaan Amerika Serikat yang ke Natuna agar mampu menjaga keamanannya dari ancaman, gangguan atau klaim Tiongkok.

Kemudian pada saat itu diputuskanlah untuk mencari perusahaan Amerika Serikat yg bersedia segera masuk ke Natuna mengeksploitasi gas alamnya, dan negara rela tidak mengambil bagiannya. Kalau tidak salah ExxonMobil terpilih pada tahun 1980.

Tentu kontrak spesial itu ada jangka waktunya. Negara mendapatkan hak pajak lainnya dan keuntungan lainnya terutama keuntungan politis dan keamanan, yaitu Amerika Serikat ikut menjaga keamanan wilayah Indonesia tanpa pangkalan resmi militer Amerika di wilayah Indonesia. Hanya Armadanya saja yang aktif berlalu lalang untuk kepentingan keamanan bersama dengan negara negara ASEAN.

Baca Juga: Ridwan Kamil Sebut Sebanyak 100 Orang Reaktif Covid-19 Usai Rapid Test di 54 Tempat Wisata Jabar

Pada saat memanasnya situasi keamanan di Laut China Selatan beberapa tahun terakhir ini nampaknya akan mengubah peta politik. Lebih lebih setelah Tiongkok lebih memilih menancapkan kekuatan nyata militernya di LCS dari pada membawa kasus atau disputenya ke perundingan atau mahkamah internasional.

Amerika Serikat, pada saat itu merupakan satu satunya negara yang mampu mengimbangi ancaman kekuatan TIongkok, sibuk mengadakan komunikasi intensif dengan negara negara ASEAN. Indonesia tentu bagian terpenting dari ASEAN. Makanya Menhan RI berkunjung ke Washington DC. Disusul dengan kunjungan Menlu Amerika Serikat ke Jakarta.

Dalam pertemuan petinggi kedua negara ini nampaknya cukup produktif. Indonesia menegaskan sikapnya yang menolak klaim Tiongkok. Negara ASEAN lainnya juga menolak klaim ambisius Tiongkok atas LCS.

Baca Juga: Khabib Kritik Presiden Macron Atas Pernyataan ‘Separatisme Islam': Semoga Tuhan Mempermalukan Mereka

Lalu muncul isu perlunya pangkalan militer Amerika Serikat di ASEAN terutama di Indonesia sebagai negara terbesar yang paling terganggu dan paling dirugikan dengan klaim Tiongkok itu. Selama ini isu pangkalan militer asing adalah Isu yang sensitif.

Apabila keadaan atau ancaman yang dihadapi sudah di luar kemampuan kita, pangkalan militer asing bukanlah hal yang tabu. Bisa saja di mulai dulu dari atau bisa jadi sudah memadai hanya dengan menyediakan wilayah untuk galangan perbaikan dan perawatan kapal kapal perang Amerika Serikat. Atau ASEAN yang menyediakan lahannya. Ataupun bila ada pangkalan militer tentulah dengan jangka waktu tertentu.

Akan tetapi yang terpenting, kehadiran pangkalan militer asing adalah harus demi keamanan nasional Indonesia. Satu dan lain hal karena memang telah terjadi perubahan keseimbangan global, baik politik, ekonomi maupun militer.***

Editor: Irma Nurfajri Aunulloh

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler