UU Omnibus Law Hanya Untungkan Pekerja Asing, Pengamat: Mereka Ga Butuh VITAS dan IMTA

8 Oktober 2020, 18:18 WIB
Ilustrasi Omnibus Law /

PR CIREBON - Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang dilakukan oleh DPR pada Sidang Paripurna Senin lalu, banyak ditentang oleh berbagai kalangan masyarakat, khususnya para buruh.

Pasalnya, dalam UU Ciptaker tersebut, disinyalir lebih banyak menguntungkan pihak pengusaha ketimbang kaum buruh.

Sementara itu, pengamat politik dari Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie menilai, hanya ada dua pihak yang diuntungkan dalam pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja tersebut.

Pihak yang diuntungkan UU kontroversial itu tidak lain adalah para investor dan para pekerja asing.

“Omnibus Law soal Ketenagakerjaan memudahkan izin kerja tenaga asing,” kata Jerry, Rabu 7 Oktober 2020, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari Antara News.

Baca Juga: DPR Panik sampai Niat Bahas Aturan Turunan UU Cipta Kerja, Mendadak Minta Pemerintah Gandeng Buruh

Hal itu tertuang dalam Pasal 42 ayat 1, tenaga asing hanya perlu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk dapat bekerja di Indonesia.

Tanpa Visa Tinggal Terbatas (VITAS) dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) seperti diatur di beleid sebelumnya.

Sementara itu, menurutnya, perusahaan juga bisa membuat karyawannya menjadi pekerja kontrak seumur hidup.

Hal itu, sebagaimana tertuang dalam Pasal 61 A, yang menyatakan bahwa ketentuan pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang memiliki hubungan kerjanya berakhir karena sudah jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.

Baca Juga: Kabar Baik dari UU Omnibus Law, Presiden Jokowi Bawa Nilai Tukar Rupiah Meroket Hari Ini

Aturan tentang perjanjian itu dinilai akan merugikan pekerja karena relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan.

RUU Cipta Kerja juga menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja. Dalam Pasal 79 Ayat (2) poin b RUU menyebutkan, istirahat mingguan hanya satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Kemudian, Pasal 88 C, (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Sedangkan di ayat (2), upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

Baca Juga: Klaster UU Omnibus Law Kekhawatiran IDI Terjawab, 12 Pendemo Reaktif Covid-19, DPR Masih Diam ?

Tak sedikit pihak yang khawatir akan poin ini, pemerintah tengah berupaya menghilangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), termasuk upah minimum sektoral.

“Jika merujuk Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, pekerja tidak bisa menerima upah di bawah standar minimum,” ujarnya.

Direktur Eksekutif P3S ini juga menilai, yang paling merasa dirugikan atas Omnibus Law Ciptaker ini tidak lain adalah kaum buruh.

“Ini akan berdampak buruk dalam pemerintahan saat ini. Paling tidak pasal-pasal yang tak sesuai dan merugikan jangan dimasukan,” katanya.

“Justru UU ini jauh dari harapan buruh. Kalau tidak dihentikan demo akan berlanjut dan Covid-19 bisa bertambah,” ucapnya.

Baca Juga: Kecemasan Pandemi Bikin Gangguan Jiwa Meningkat, Pemprov Jabar Rilis KJOL Konsultasi Online

Jerry menyarankan agar pasal-pasal kontroversi ditinjau lagi. Baik melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun melalui langkah lainnya.

Presiden Jokowi pun bisa mengundang perwakilan buruh, mahasiswa dan lainnya yang menolak agar semua aman dan damai.

“Tetapi, semua harus sesuai protokol kesehatan,” tuturnya.***

Editor: Khairunnisa Fauzatul A

Sumber: Antara News

Tags

Terkini

Terpopuler