PR CIREBON – Kejadian kerumunan massa Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berkunjung ke Maumere beberapa hari lalu, hingga saat ini menjadi polemik.
Banyak pihak yang memberikan kritik keras kepada Presiden Jokowi atas kerumunan massa yang terjadi di tengah pandemi Covid-19.
Tak sedikit di antara mereka yang mengkritik Presiden Jokowi kemudian menyamakan kerumunan tersebut dengan kasus Rizieq Shihab.
Mereka mengkritik karena menganggap kerumunan massa akibat kunjungan Presiden Jokowi tak berbeda dengan kasus Rizieq Shihab.
Walaupun ada perbedaan, keduanya dianggap sama-sama menimbulkan kerumunan massa di tengah pandemi Covid-19.
Ada pula yang kemudian tak setuju apabila kerumunan massa Presiden Jokowi disamakan dengan kasus Rizieq Shihab, seperti dr. Tirta Mandira Hudhi.
dr. Tirta menganggap kerumunan massa Presiden Jokowi tidak sama dengan kasus Rizieq Shihab.
Hal itu disampaikan dr Tirta dalam beberapa kesempatan, termasuk saat dirinya berbincang di acara Dua Sisi yang ditayangkan TV One.
dr. Tirta menilai bahwa kerumunan massa saat kunjungan Presiden Jokowi tak lepas dari kurangnya pengawasan protokoler dan pemerintah daerah.
Baca Juga: Singgung Jokowi Soal Izin Miras, Mardani Ali Sera: Jangan Remehkan Penelitian itu Bahaya!
Pasalnya, sosok Presiden Jokowi tentu akan menarik minat masyarakat untuk rela berkerumun demi melihat sang kepala negara.
Jadi, pengawasan perlu ditingkatkan lebih ekstra lagi guna mensterilkan lingkungan agar tak terjadi kerumunan massa.
Perihal pembagian souvenir oleh Presiden Jokowi, dr. Tirta menilai hal itu kemungkinan dilakukan dalam rangka membubarkan kerumunan.
Selain itu, dr Tirta juga menyoroti bahwa video bagi-bagi souvenir yang dilakukan Presiden Jokowi telah dipotong, sehingga fakta di lapangan dapat dipelintir.
dr. Tirta yang seolah membela Presiden Jokowi dalam kejadian tersebut lantas mendapat kritikan dari politisi Partai Demokrat, Yan Harahap.
Oleh karena itu, Yan Harahap menilai dr Tirta tak lebih dari seorang dokter yang menjelma sebagai buzzer.
“Begini akibatnya, jika yang bicara bukan ahli di bidangnya. Begini akibatnya, jika seorang dokter ‘menjelma’ menjadi buzzer,” katanya, dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari cuitan Twitter @YanHarahap pada Jumat, 26 Februari 2021.
***